Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Oce Madril pada Diskusi dan Bedah Buku “Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman” di Aula Gedung Pascasarjana Lantai 3, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Kamis (4/10).
Surabaya (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, tapi sebagai supporting element atau state auxiliary organ. Secara konstitusional, KY membantu atau mendukung pelaku kekuasaan kehakiman sehingga keterlibatan KY dalam manajemen jabatan hakim adalah konstitusional.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Oce Madril pada Diskusi dan Bedah Buku “Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman” di Aula Gedung Pascasarjana Lantai 3, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya, Kamis (4/10).
“Cukup relevan bagaimana menjamin merit system yang ada di lingkungan kekuasaan kehakiman. Tentu tidak cocok kalau diberikan kepada lembaga administrasi negara, jauh akan lebih cocok diberikan kepada lembaga konstitusional yang memang tugas pokoknya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial,” ujar Oce.
Dalam paparannya yang berjudul Kedudukan Hakim dan Reformasi Peradilan, Oce menjelaskan bahwa untuk meluruskan arah menajemen kekuasaan kehakiman ada peluang di Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. RUU Jabatan Hakim harus mengakomodir politik hukum pascareformasi dan harus terlihat semangat reformasi dalam RUU tersebut.
“Hakim tidak bisa dilihat sebagai pelaksana administrasi negara, tetapi dimanajemen sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman,” ujar pria yang baru saja menyelesaikan Pendidikan Doktor Ilmu Hukum (S3) di Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada ini.
Lebih lanjut, menurut Oce, hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman. Profesi hakim tidak bisa dimanajemen dengan menggunakan pola PNS. Layaknya pejabat negara, hakim harus diatur dengan aturan tersendiri.
“Manajemen jabatan hakim harus diatur dari mulai perekrutan sampai pemberhentian. Untuk seleksi melibatkan banyak pihak (multi aktor) yang terlibat, karena mencari hakim tidak sama dengan mencari pegawai,” jelas pria kelahiran Payakumbuh ini.
Proses mutasi, promosi dan demosi juga akan banyak perubahan yang merefleksikan merit system. Bukan karena kedekatan dengan pimpinan atau mempunyai akses pada kekuasaan.
Oce menegaskan, dalam hal pengawasan melibatkan pengawasan internal dan eksternal. Untuk pemberhentian hakim harus ada model pemberhentian yang fair.
“Dengan cara pandang hakim harus dijamin independensinya maka disaat yang sama juga harus dijamin akuntabilitasnya dan ada mekanisme yang fair dalam melakukan pemberhentian hakim,” tegas Oce.
Oce berharap, KY harus siap dengan peran yang jauh lebih besar ke depannya. KY harus siap ketika menjadi mitra, menjadi partner pelaksana kekuasaan kehakiman untuk hal-hal tertentu.
“Itu tantangan bagi KY, kalau dilihat dari negara-negara lain yang memiliki KY sangat kuat, maka bagian dari merit system itu dilakukan oleh KY,” harap Oce. (KY/Jaya/Festy)