Direktur Pusat Kajian Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Surabaya Herlambang P Wiratraman memuji diterbitkannya Buku Bunga Rampai KY 2018 "Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman".
Surabaya (Komisi Yudisial) - Direktur Pusat Kajian Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga (FH UNAIR) Surabaya Herlambang P Wiratraman memuji diterbitkannya Buku Bunga Rampai KY 2018 "Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman". Menurutnya, ada senyawa berbeda yang didapat dari membaca buku ini dibanding buku ketatanegaraan lainnya. Buku ini harusnya dibaca 20 tahun setelah jatuhnya Soeharto.
Herlambang berpendapat, ada perkembangan-perkembangan yang tidak dibaca sebelumnya. Dari sudut substansi buku ini, banyak hal yang baru. Beberapa hal yang berbasis riset yang mendalam. Observasi salah satu bab sangat tajam yang terlihat dalam bagian mencari distingsi kekuasan kehakiman.
Secara institusional, kemandirian kekuasaan kehakiman mulai dapat diwujudkan pada Era Reformasi setelah dilakukan pembaruan peradilan melalui manajemen organisasi peradilan “satu atap” dan perubahan ketiga UUD 1945. Pada Era Reformasi, mulai dilakukan pembaruan peradilan dengan melakukan pengalihan manajemen organisasi peradilan dari Departemen Kehakiman ke MA sepenuhnya yang kemudian disebut sebagai manajeman organisasi peradilan “satu atap”.
"Namun, hasil penelitian menunjukkan manajemen satu atap ternyata bukan “obat mujarab” untuk memperkuat independensi hakim. Kekuasaan kehakiman justru didominasi oleh ‘oligarki’ pimpinan birokrasi lembaga yudikatif itu sendiri, yaitu pimpinan kelembagaan yang terdiri dari Ketua MA (beserta unsur pimpinan seperti Badilum, Badilag, dan sebagainya) dan Sekretaris MA," ujar Herlambang pada Diskusi dan Bedah Buku "Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman" di Aula Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (4/10).
Herlambang mengatakan, dari tulisan yang ada banyak hal selama ini tidak terungkap ke publik. Dari tulisan yang ditulis Widodo tentang Anomali Sistem Mutasi Hakim berhasil mengungkap ke publik, dari hal sederhana yaitu mutasi hakim. Orang ingin menjadi hakim seperti kebanggaan.
“Kalau sudah menjadi hakim dan dimutasi, apa perspektif hakim setelah dimutasi? Rata-rata mereka percaya ini adalah takdir. Tetapi kalau dia punya kelebihan, mempunyai reputasi yang baik dan tiba-tiba dipindah ke daerah yang terpencil, itu juga adalah takdir,” ujar Herlambang.
Lebih lanjut Herlambang menjelaskan, kalau dulu kekuasaan kehakiman dipenuhi oleh Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Kalau hari ini lebih banyak dikenal dengan NKK (Nolong Kawan dan Keluarga).
Terkait independensi hakim, menurut Herlambang bukan hanya soal hakim diintervensi saja, tetapi keamanan dirinya juga menjadi persoalan.
“Dua puluh tahun reformasi itu independensi berhasil mengubah secara struktural fungsional tetapi tidak cukup mengubah bekerja struktural fungsional itu bekerja lebih baik dalam proses menggapai keadilan,” ungkap Herlambang.
Akuntabilitas itu bukan soal personal, bukan juga soal soal institusional tetapi juga soal masyarakat kita yang peduli soal akuntabilitas.
“Akuntabilitas bukan sekedar bergesernya struktur dan fungsi yang dilegitimasi oleh aturan perundangan-undangan, tetapi akuntabilitas yang memiliki signifikansi sosial,” jelas pria lulusan Universitas Leiden ini.
Herlambang berharap pendidikan hukum juga berubah sehingga tidak hanya berpikir statis yang hanya menghasilkan robot. Kalau kampus hanya melahirkan sarjana sekelas robot maka kita tidak akan pernah mendapatkan yang lebih baik.
“Seharusnya independensi kekuasaan kehakiman itu menjawab problem-problem keadilan di masyarakat,” harap Herlambang.
Banyak hal lain yang menarik dalam buku ini, harapannya kita bisa membaca buku ini dengan baik.
“Anda punya kesempatan yang lebih untuk membaca buku ini sehingga mendapatkan senyawa yang berbeda,” pungkas Herlambang. (KY/Jaya/Festy)