Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Maradaman Haraharap menjadi pembicara dalam diskusi dan peluncuran buku “Sinergi dalam Mencari Sosok Ideal Hakim Agung Indonesia”, Kamis (22/03) di Auditorium KY, Jakarta.
Jakarta (Komisi Yudisial) – Hakim tidak dilahirkan, tapi diciptakan. Untuk menjadi hakim, maka seseorang harus memiliki intelektualitas (hard competency), keahlian atau pengalaman, dan integritas (soft competency). Ketiga hal itu menjadi standar bagi Mahkamah Agung (MA) dalam melakukan rekrutmen hakim untuk mendapatkan hakim yang berkarakteristik profesional.
Hal itu disampaikan Ketua Kamar Pengawasan MA Sunarto saat menjadi pembicara berjudul Manajemen Hakim dalam Upaya Menghasilkan Calon Hakim Agung Potensial” dalam diskusi dan peluncuran buku “Sinergi dalam Mencari Sosok Ideal Hakim Agung Indonesia”, Kamis (22/03) di Auditorium KY, Jakarta.
“Tentu saja ada tangan dalam menjaga profesionalisme hakim. Faktor eksternal adalah paham hedonism, belum terpenuhinya hak-hak normatif hakim terkait kesejahteraan hakim, dan kecenderungan masyarakat ke pengadilan mencari kemenangan apapun caranya. Faktor internal hakim itu sendiri adalah lemahnya iman dan budaya malu pada sosok hakim tersebut,” jelas Sunarto.
Lebih lanjut Sunarto menjelaskan, MA telah berupaya keras untuk menjaga profesionalitas hakim. Antara lain melakukan pembinaan secara berkesinambungan, melakukan mutasi dan promosi secara berkala, dan menegakkan prinsip pengawasan tidak ada toleransi terhadap segala bentuk pelanggaran. MA juga bekerjasama dengan lembaga lain dalam menjaga profesional hakim, semisal KY.
“Setiap hakim bercita-cita mencapai puncak tertinggi karier, yakni hakim agung. Namun hanya hakim yang profesional yang berpeluang menjadi hakim agung,” pungkas Sunarto. (KY/Noer/Festy)