Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari membuka Rapat Kerja KY Tahun 2018, Rabu (21/2) di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat.
Bogor (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari membuka Rapat Kerja KY Tahun 2018, Rabu (21/2) di Hotel Novotel Bogor, Jawa Barat. Acara yang diikuti oleh Pimpinan dan Anggota KY, Sekretaris Jenderal KY, pejabat struktural, tenaga ahli dan 12 koordinator Penghubung KY ini direncanakan berlangsung hingga Jumat (23/2).
Dalam sambutannya, Aidul menekankan bahwa KY tidak hanya bekerja untuk Jakarta, tetapi untuk Indonesia. Sebagai negara yang memiliki luas hampir sama dengan benua Eropa, maka beban kerja KY sama dengan beban kerja satu benua.
“Karena itulah saya menolak jika kinerja kita dibandingkan dengan negara lain seperti Jerman, atau negara lain. Negara kita sangat kompleks dan berwarna. Dalam menjalanlankan kinerja, maka tantangan geografis harus diperhatikan pula,” ujar Aidul.
Berdasarkan Rule of Law around the Worlds, Indonesia menempati ranking 63 dari 113 negara terkait kinerja penegakan hukumnya. Posisi tersebut tidaklah terlalu buruk jika dibandingkan dengan negara lain pada tingkatan yang sama, di mana posisi Cina berada di bawah Indonesia. Hal tersebut tidaklah terlepas dengan kondisi geografis negara-negara tersebut.
"Lalu mengapa ada anggapan negara Asia Timur lebih maju," tanya Aidul. Kuncinya, tegas Aidul, terletak pada birokrasi.
Negara seperti Cina, Hongkong, Jepang, dan Korea Selatan mewarisi tradisi birokrasi Cina sejak 200 SM. Singapura dan Malaysia mewarisi birokrasi Kolonial Inggris yang masih terpelihara.
“Ada kawan saya di Malaysia yang pernah berkata bahwa cemburu dengan Indonesia karena produk legislasinya berbahasa Indonesia. Sedangkan mereka masih berbahasa Inggris. Itu bukti bahwa pengaruh tradisi Kolonial Inggris masih kuat di Malaysia. Sedangkan Indonesia mewarisi birokrasi feodal yang belum sepenuhnya pulih. Warisan seperti itu tidak boleh menjadi kendala bagi kita. Saya pernah dipuji oleh kawan dari negara lain karena dengan birokrasi tersebut Indonesia pada Orde Baru berhasil menyampaikan program yang rumit seperti Keluarga Berencana (KB) hingga tingkat pedesaan. Jadi sebenarnya birokrasi kita tidak kalah,” jelas Aidul.
Menurut Aidul, hambatan birokrasi di Indonesia adalah biaya politik yang mahal dan korupsi. KY hendaknya tidak menjadikan hambatan tersebut sebagai sandungan, karena Indonesia perlu mengejar ketinggalannya dengan negara lain.
“Kami Anggota KY hanya menjabat selama lima tahun dan hanya bisa memberikan masukan terkait kebijakan lembaga. Anda pegawai KY yang hadir saat ini adalah tulang punggung KY sesungguhnya. Jadi baik atau tidaknya kinerja birokrasi KY ke depan merupakan tanggung jawab utama Anda,” pesan Aidul. (KY/Noer/Festy)