Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara dengan tajuk “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakannya”, Kamis (04/05)
Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) bekerja sama dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar Prakonferensi II Etika Berbangsa dan Bernegara dengan tajuk “Diskursus Integrasi Sistem Kode Etik dan Penegakannya”, Kamis (04/05) di Ruang Auditorium KY, Jakarta. Hadir sebagai narasumber, yaitu mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, mantan Ketua KY Busyro Muqoddas, dan akademisi Filsafat Andang L. Binawan.
Busyro menyampaikan, pentingnya mengindentifikasi pelanggaran kode etik yang banyak dilakukan oleh aparat penegak hukum di Indonesia. Kemandekan berpikir ideologis-filsafat oleh aparat kementerian/lembaga negara karena faktor hedonisme dan political pressure. Nilai pemerdekaan, pengarusutamaan harkat, martabat kemanusiaan/kebangsaan dan nilai keIlahian dalam Mukadimah UUD 1945 tidak diinternalisasi dan diintegrasi ke dalam proses perumusan legislasi, kebijakan publik dan proses penegakan hukum oleh aparat penegak hukum.
“Penegakan hukum lebih berwatak skriptualisme/textual, rigid dan tercerabut dari makna-makna nilai-nilai Mukadimah UUD 1945. Tidak ada sistem kontrol yang efektif terhadap potensi pelanggaran integritas dan kode etik sebagai akibat praktik pendanaan operasional di luar APBN,” ungkap Busyro.
Hal senada juga diungkap oleh Maruarar. Ia menyarankan perlu dibentuk undang-undang yang mengatur tentang etik dan moral sebagai tindak lanjut dari TAP MPR No. VI/MPR/1998. Kode etik menjadi keniscayaan yang diharapkan dapat mendorong dan mengawasi perilaku penyelenggara negara dalam menjalankan kekuasaan yang diembannya.
"Adanya lembaga penegak kode etik secara eksternal akan menjadikan kode etik tersebut efektif," ujar Maruar.
Giliran Romo Andang mengemukakan, apakah penting untuk membuat mekanisme yang jelas terkait penegakan etika, karena ada sedikit kontradiktif antara etika dan prosedur.
“Adanya kode etik yang dirumuskan, dan bahkan dijadikan hukum, sekali lagi terkait dengan tuntutan kepastian yang menjadi keniscayaan. Perlu perhatian yangg tegas jika ingin menyeragamkan seluruh kode etik profesi karena setiap profesi memiliki kekhasannya masing-masing,” pungkas Andang. (KY/Noer/Festy)