KY Harapkan Media Massa Jaga Wibawa Hakim Saat Liput Persidangan
Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi saat menjadi narasumber dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Ruang Rapat KPI, Gedung Bapeten, Jakarta (8/11).

Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi menyoroti  liputan persidangan yang dilakukan oleh media massa ditinjau dari perspektif KY. Perspektif KY lebih mengarah pada pendekatan etika di atas hukum. 
 
"KY adalah lembaga etik, jadi pendekatannya selain pendekatan hukum adalah pendekatan etik," ujar Farid saat menjadi narasumber dalam Forum Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Ruang Rapat KPI, Gedung Bapeten, Jakarta (8/11). 
 
 
FGD bertema Penyiaran Permasalahan Hukum dengan Tetap Menghormati Proses Hukum ini merupakan dialog antara pemangku kepentingan dalam penyiaran, khususnya terkait permasalahan hukum.
 
Lebih lanjut Farid menyampaikan, proses persidangan yang dilakukan secara terbuka untuk umum yang telah diatur dalam undang-undang (UU) memiliki dua makna. Pertama, sidang terbuka untuk umum dalam perspektif hukum adalah siapa saja boleh masuk dalam ruangan persidangan untuk hadir dan melihat proses persidangan dari awal sampai akhir, sesuai agenda persidangan yang dilakukan.
 
"Jadi prinsipnya, siapa saja dalam keadaan tertentu boleh datang dan melihat proses sidangnya," kata Juru Bicara KY ini.
 
Untukpengambilan gambar atau dengan cara siaran langsung (live), bila merujuk pada ketentuan peraturan dan UU yang berlaku,  maka tergantung pada hakim ketua sidang. 
 
“Meskipun sidang terbuka untuk umum, tetapi yang namanya pengambilan gambar atau sekalipun bukan live itu harus seiijin hakim ketua sidang," terang Farid.
 
Dalam praktik, ada keluhan dari media massa bahwa hakim ketua tidak memberikan ijin pengambilan gambar, sekalipun tidak live. 
 
“Hal tersebut tidak salah. Karena itu merupakan kewenangan hakim ketua siding," lanjutnya.
 
Farid menjelaskan, bila dikaitkan dengan wewenang KY untuk menjaga dan menegakkan martabat hakim, KY merasa "perih” melihat hakim, jaksa dan kuasa hukum diolok-olok di media sosial karena masyarakat melihat proses persidangan di layar televisi.
 
“Yang ingin saya katakan bahwa pada akhirnya sakralitas, nilai martabat hakim dan martabat pengadilan layaknya seperti sinetron. Yang dilihat adalah ada aktor, ada aktor figuran kemudian ada,peran antagonis yang sebenarnya dalam perspektif hukum akan semakin mengkerdilkan makna peradilan sebagai lembaga benteng terakhir untuk keadilan" ungkap Farid.
 
Farid menyarankan perlu adanya penguatan peran komisi atau majelis etik di lembaga penyiaran. Kemudian dalam konteks liputan persidangan, perlu adanya duduk bersama antara lembaga terkait untuk mencari solusi dalam rangka menyelesaikan konflik-konflik penyiaran dengan tetap menghormati proses hukum. (KY/Emry/Festy)
 

Berita Terkait