Pertegas Shared Responsibilty dalam RUU JH
Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menyoroti kondisi aktual dunia peradilan berdasarkan sistem satu atap (one roof system)

Jakarta (Komisi Yudisial) – Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta menyoroti kondisi aktual dunia peradilan berdasarkan sistem satu atap (one roof system). Masih banyak permasalahan yang timbul dari sistem ini. Oleh karena itu, Rancangan Undang-Undang Jabatan Hakim (RUU JH) perlu memikirkan reorientasi sistem satu atap ini.
 
Menurut Sukma, UU Nomor 35/1999 Jo UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan, sistem satu atap menempatkan organisasi, administrasi, finansial di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Banyak ditemukan mafia peradilan, pengaturan perkara, putusan kontroversial, ketidakadilan dalam mutasi-promosi hakim, dan tidak dilaksanakannya Putusan KY tentang pengenaan sanksi terhadap hakim yang melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
 
“Kami memberi masukan dalam RUU JH agar sistem pembagian tanggung jawab atau shared responsibility dipertegas. Ada pembagian peran dan tanggung jawab antar organ negara, khususnya dalam pengelolaan jabatan hakim sebagai konsekuensi pejabat negara. Sebenarnya dalam UUD 45 maupun UU Nomor 35/1999 sudah menganut sistem shared responsibility,” tegas Sukma dalam Seminar Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Dewan Perwakilan Rakyat RI tentang RUU JH bertema “Ikhtiar Memperbaiki Status dan Manjemen Para Pengadil”, Rabu (27/10) di Ruang Rapat Fraksi PPP, Gedung Nusantara I DPR RI, Jakarta.
 
Hal tersebut tidak terlepas dari konsekuensi hakim sebagai pejabat negara dalam RUUJH. Perubahan status hakim sebagai pejabat negara akan berpengaruh pada rekrutmen, masa jabatan, dan fasilitas yang didapatkan.
 
“Konsekuensi sebagai pejabat negara, kami memberi jalan keluar dengan proses seleksi tidak sama dengan yang berlangsung selama ini. Misalnya seperti proses seleksi calon hakim aAgung di KY. Jadi proses seleksi hakim melibatkan lembaga lain seperti KY, universitas, dan lembaga scientist,” saran peraih gelar LL.M dari University of Nottingham, Inggris.
 
Sekalipun ada keterlibatan pemerintah (lembaga lain) dalam hal administrasi peradilan, pengawasan, dan pelatihan, independensi kekuasaan kehakiman tetap bisa tegak dan berjalan dengan baik selama dijamin dalam peraturan perundangan-undangan dan dilaksanakan secara konsisten. Artinya kekuasaan kehakiman tidak harus dilakukan oleh satu lembaga.
 
“Konsekuensi hakim sebagai pejabat negara, maka sistem peradilan harus lebih transparan. Hakim harus memiliki akuntabiltas terhadap tugasnya. Masyarakat harus ikut berpartisipasi dalam proses di pengadilan, misalnya melalui pengawasan hakim,” pungkas mantan peneliti hukum senior ini.
 
Diskusi publik ini merupakan ajang bagi Fraksi PPP untuk mendapat masukan terkait RUUJH dari masyarakat dan para stake holder RUUJH. Hadir juga sebagai narasumber Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha mewakili MA, Anggota DPR RI Trimedya Panjaitan mewakili Komisi III, Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan II Kemenkumham Nasrudin mewakili pemerintah, dan Anggota DPR RI sekaligus Sekjen PPP Arsul Sani sebagai moderator. (KY/Noer/Festy)

 


Berita Terkait