KY Ungkap Penanganan Laporan Masyarakat Caturwulan II Tahun 2016
Pada periode Januari s.d 31 Agustus 2016 menerima 1.092 laporan masyarakat dan 1.257 surat tembusan. Jumlah ini hampir sama dengan laporan masyarakat yang diterima pada Januari s.d. 31 Agustus 2015, yaitu 1.052 laporan dan 1.242 surat tembusan.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Sesuai amanat undang-undang, Komisi Yudisial bertugas menerima laporan dari masyarakat berkaitan dengan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Sebagai bentuk pertanggung-jawaban kinerja, KY mengungkap penanganan laporan masyarakat periode Januari s.d 31 Agustus 2016, Rabu (14/9) di Ruang Pers KY, Jakarta.
 
Pada periode Januari s.d 31 Agustus 2016 menerima 1.092 laporan masyarakat dan 1.257 surat tembusan. Jumlah ini hampir sama dengan laporan masyarakat yang diterima pada Januari s.d. 31 Agustus 2015, yaitu 1.052 laporan dan 1.242 surat tembusan.
 
"Secara kuantitas, laporan prinsipnya hampir sama dari tahun ke tahun,” kata Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY sekaligus Juru Bicara KY Farid Wajdi.
 
Lebih lanjut, jenis perkara yang banyak diadukan dalam laporan masyarakat itu adalah perdata sebesar 49%, pidana sebesar 29%, tata usaha negara sebesar 8%, tindak pidana korupsi sebesar 7%, agama sebesar 3%, dan pengadilan hubungan industrial sebesar 3%.
 
Kompleksitas perkara perkara perdata dan pidana relatif tinggi dan sensitif, sehingga hal tersebut kemungkinan yang menyebabkan dua perkara ini mendominasi laporan masyarakat yang masuk ke KY.
 
Menanggapi hal itu, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum Universitas Indonesia Choky Ramadhan mengatakan, mayoritas jumlah penerimaan pengaduan dikirim lewat pos ketimbang datang langsung ke KY atau Kantor Penghubung. Karena itu, perlu dikembangkan penanganan laporan secara online agar masyarakat lebih cepat mengadukan kasus dugaan KEPPH.
 
“Ini ruang bisa dikembangkan KY ke depan,” kata Choky.
 
Ia juga menyarankan, untuk ke depan KY bisa memulai pilot project untuk mengembangkan dan mempraktikkan konsep Collective Action yang dikembangkan dari Transparency International. Collective Action mengkolaborasi LSM, media, pihak bisnis dan pemerintah untuk membuat komitmen bersama. 
 
“Saya bayangkan menjalin komitemen bersama antara pengadilan negeri, pengadilan tinggi, organisasi pengacara seperti Peradi, universitas, LSM, media, asosiasi Blbisnis (karena mayoritas perkara yang dilaporkan adalah perdata) untuk tidak melakukan judicial corruption,” jelas Choky.
 
Jika komitmen yang dilakukan bersama secara terbuka ada yang melakukan pelanggaran, maka ada sanksi yang diterapkan. Ada sanksi moral yang diberikan stake holder untuk menghukum anggotanya. 
 
Semisal di Jerman di mana sistem ini diterapkan. Jka ada perusahaan yang melakukan pelanggaran, lanjut Choky, maka asosiasi perusahaan akan mengucilkan perusahaan tersebut. 
 
"Tentu saja hal tersebut akan menghambat upaya perusahaan tersebut untuk mengembangkan bisnis, sehingga niat untuk melakukan pelanggaran juga akan minimal," pungkas Choky (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait