Keamanan Hakim dan Pengadilan, Bagian Kesejahteraan Hakim
Anggota Komisi Yudisial (KY) selaku Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan Binziad Kadafi

Bandung (Komisi Yudisial) - Tugas advokasi hakim selama ini dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) hanya ketika terjadi suatu kejadian. Namun, dalam praktiknya, pendekatan tersebut selama ini dirasa kurang memadai, sehingga diperlukan langkah-langkah yang lebih aktif untuk mencegah terjadinya penyerangan terhadap kehormatan hakim.

Hal tersebut diutarakan oleh Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY Binziad Kadafi pada Diskusi Publik bertajuk "Kertas Kebijakan Keamanan Hakim dan Pengadilan Tahun 2025", Rabu (29/10/2025) di Auditorium Lt. 5 Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Jawa Barat.

Menurut Binziad, keamanan hakim merupakan isu yang serius karena menyangkut kesejahteraan hakim juga. “KY memiliki tugas untuk mengupayakan kesejahteraan hakim, dalam hal ini tidak hanya berkaitan dengan aspek finansial saja, tetapi juga mencakup jaminan keamanan bagi para hakim," ungkap peraih gelar doktoral (PhD) di Tilburg Law School ini.

Dirinya melanjutkan, Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, pada huruf “e”menyatakan,  KY dapat mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap setiap perbuatan yang merendahkan kehormatan hakim (PMKH), sehingga dalam konteks ini, wajah KY menjadi lebih utuh karena tidak hanya berfokus pada pengawasan etik saja. Namun, lanjutnya, KY juga berperan aktif dalam menjamin keamanan hakim.

“Secara normatif pengaturannya bersifat post factum, yaitu KY baru bertindak setelah hakim menjadi korban kekerasan atau teror, sehingga pendekatan seperti ini dinilai kurang memadai dan perlu dilengkapi dengan langkah-langkah preventif untuk melindungi keamanan para hakim sejak dini," ujar Binziad.

Sejak 2013 hingga 2025, KY telah menangani sebanyak 159 dugaan pelanggaran terhadap kehormatan hakim (PMKH). Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap kehormatan hakim tidak lagi bersifat sederhana, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih serius (advance), termasuk manipulasi putusan dan serangan terhadap sistem informasi pengadilan.

Selain itu Binziad juga menyoroti seputar Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 dan 6 tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Pengadilan, karena menurutnya hal itu perlu dievaluasi apakah sudah terimplementasi atau belum, sehingga penting untuk KY mengajak MA dan berbagai pihak untuk memberi perhatian lebih pada persoalan ini melalui kegiatan diskusi publik.

“Melalui diskusi publik ini, kita meluncurkan hasil kajian berupa kertas kerja kebijakan keamanan hakim dan pengadilan, yang salah satunya menggagas pembentukan polisi khusus pengadilan, sebagaimana yang telah dibentuk di beberapa lembaga, seperti kereta api, kehutanan, pemasyarakatan, agar dapat segera ditindaklanjuti secara konkret," tandas Binziad. 

Selain Binziad Kadafi, diskusi publik ini juga menghadirkan penanggap kunci lain di antaranya, akademisi FH Unpar Nefa Claudia Meliala, Sekretaris Mahkamah Agung RI Sugiyanto, serta Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan RI, Prof. (HC) Asep Nana Mulyana, yang kesemuanya menyambut baik usulan KY sambil tetap menekankan pentingnya menjaga keterbukaan dan akses publik pada pengadilan. Adapun Kertas Kerja dipaparkan oleh akademisi UPI Bandung Giri Ahmad Taufik dan Penata Kehakiman KY Kurniawan Desiarto. (KY/Adnan/Festy)


Berita Terkait