
Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung Kamar Tata Usaha Negara (TUN) khusus pajak terakhir yang diwawancara adalah Kepala Subdirektorat Penyidikan Direktoral Jenderal Pajak (DJP) Wahyu Widodo, Sabtu (9/8/2025) di Auditorium KY, Jakarta. Calon ditanyakan kecenderungan DJP yang sering kalah dalam sidang di pengadilan pajak.
"Secara total, DJP menang sekitar 40 persen, 60 persennya kalah,” aku Wahyu membenarkan.
Wahyu mengakui adanya perbedaan pemahaman antara Pengadilan Pajak dengan DJP menjadi salah satu penyebab. Namun, ia menyoroti ada regulasi terkait perpajakan yang kadang bertentangan dengan peraturan di atasnya. Biasanya Surat Edaran (SE) atau Peraturan Menteri Keuangan (PMK), ungkap Wahyu, secara operasional kadang ada yang tidak sesuai.
“Sedangkan DJP dan hakim pajak merasa sama-sama benar. Di lapangan, DJP sering menggunakan SE, sedangkan SE tidak digunakan pengadilan pajak. Hal inilah yang menjadi gap antara operasional dan pengadil,” jelas Wahyu.
Calon memberi contoh pengenaan bunga utang pemegang saham. DJP menyatakan bahwa utang pemegang saham yang tanpa bunga harus dikenakan bunga, karena ada SE yang mengatur tentang itu. Sedangkan peraturan hukum di atasnya tidak menyatakan hal yang sama.
“Jadi hal-hal seperti itu pasti akan (membuat) kalah terus, karena DJP menjalankan SE dan PMK, sedangkan di pengadilan pajak tidak mengakui itu,” ungkap wahyu. (KY/Noer/Festy)