Cikarang (Komisi Yudisial) - Kepastian hukum dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dinilai menjadi faktor yang memengaruhi investor untuk berinvestasi di Indonesia.
“Salah satu kelebihan bangsa lain adalah kepercayaan publik yang tinggi kepada peradilan, sementara di Indonesia sebaliknya. Memang jika disurvei masih banyak yang percaya. Namun, praktiknya saat saya bertanya ke masyarakat terungkap banyak yang kecewa dengan penegakan hukum di Indonesia," ujar Ketua Komisi Yudisial (KY) Amzulian Rifai menyampaikan sambutan setelah penandatangan nota kesepahaman dengan President University, Selasa (15/10/2024) di Cikarang, Jawa Barat. Amzulian menyampaikan kuliah umum tema "Pembangunan Hukum dan Peradilan Melalui Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) di hadapan ratusan mahasiswa dan dosen.
Amzulian bercerita bahwa pernah menerima audiensi yang merupakan investor/pemodal dari asing. Mereka mengeluhkan proses hukum di Indonesia. Menurut Amzulian, investor tidak akan mau menginvestasikan modal kalau mereka ragu dan tidak percaya dengan sistem hukum Indonesia.
“Bayangkan investasi tidak ada yang nantinya berpengaruh ke pendapatan negara dan lapangan kerja,” beber Amzulian.
Dalam sesi tanya jawab, salah satu peserta warga negara Jepang mengungkapkan pertanyaan. Menurutnya, sering ada permintaan investor tidak menggunakan jasa arbiter di Indonesia jika terjadi sengketa di Indonesia. Jika butuh, maka menggunakan jasa negara lain, seperti Singapura. Ada kekhawatiran investor mengenai proses administrasi di Indonesia.
“Kepercayaan itu penting, ketika kepercayaan itu rendah bahkan tidak ada, maka akan sulit. Memang kepercayaan itu mesti dibangun,” jawab Amzulian.
Amzulian menlanjutkan, bahwa investor memilih negara Singapura dalam sengketa arbitrase, maka ada sebab. Soal _confidence_, bisa dari diksi lebih baik dan terampil arbiternya. Penguasaan bahasa menjadi penting, karena arbiter Indonesia yang menguasai bahasa Inggris terkait hukum mungkin tidak banyak.
“Kalau kita melihat secara objektif, maka bisa dipahami. Namun, secara kelembagaan kepercayaan juga diperlukan. Kedua, arbiternya dari segi bahasa bisa memahami. Institusi dan SDM,” ungkap Amzulian.
Bagaimana jika proses arbitrase dilakukan dalam bahasa Indonesia? Hal tersebut menurut Amzulian bisa dipaksakan dengan cara pemerintah harus membuat kasus arbitrase yang terjadi di Indonesia dan diselesaikan di Indonesia.
“Tapi kita harus memperbaiki diri. Ini menarik dibahas. Masa seumur hidup (proses arbitrase) harus ke Singapura terus. Negara perbaiki, organisasi juga perbaiki,” pungkas Amzulian. (KY/Noer/Festy)