Media Sosial Memantik Daya Kritis Publik
Foto bersama narasumber dan peserta edukasi publik "Menyuarakan Peradilan Bersih Lewat Media Sosial", Jumat (6/9/2024) di Bandung, Jawa Barat.

Bandung (Komisi Yudisial) - Media sosial saat ini menjadi ruang investasi baru bagi publik untuk memantik daya kritis publik akan isu hukum dan peradilan. Bahkan, media sosial dapat dimaksimalkan menjaring partisipasi publik dalam penegakan hukum di Indonesia. Media sosial tidak lagi sekadar ruang hampa, tetapi sudah menjadi tiruan dunia nyata yang dapat menggerakkan massa. 

"Dulu sebelum zaman media sosial, media informasi itu minim sekali karena media konvensional yang dikontrol oleh penguasa. Kalau sekarang, media sosial pada akhirnya menjadi ruang investasi baru. Media sosial berkaitan dengan partisipasi langsung dari masyarakat untuk penasaran dan menggali informasi secara utuh hingga terjadi aksi lanjutan," jelas praktisi hukum Miko Ginting saat menjadi narasumber edukasi publik "Menyuarakan Peradilan Bersih Lewat Media Sosial", Jumat (6/9/2024) di Bandung, Jawa Barat.

Miko lebih lanjut mengingatkan, informasi dari media sosial tidak selalu dianggap sebagai kebenaran, sebab informasi yang viral sekalipun tetap terbuka ruang untuk direkayasa.

"Media sosial juga punya kelemahan, terkadang informasi yang benar tidak dapat like yang banyak. Sementara informasi yang direkayasa, ramai karena sekarang ada istilah buzzer. Mereka yang sering kita sebut influencer terkadang ada yang menggunakan pengaruhnya untuk menggiring opini tertentu dan mendapatkan keuntungan, itu genuine. Jadi kalau kita berbicara kebenaran, sebenarnya kita harus berhati-hati dengan perekayasaan itu," jelas Miko.

Miko menyarankan agar SobatKY perlu punya insting untuk memilah antara kabar atau informasi yang murni organik berasal dari suara kebenaran dengan kabar yang sudah dikemas untuk melancarkan agenda yang berkepentingan. Tantangan lain bermedia sosial pun adalah bagaimana masyarakat tetap kritis, tetapi terhindar dari hukum yang bisa menjerat.

"Di tengah kesimpang-siuran informasi, maka yang bisa dilakukan adalah melakukan kontrol terhadap informasi apa yang teman-teman yakini dan informasi apa yang ingin teman-teman bagikan sebagai informasi kebenaran," saran Miko. 

Hal senada disampaikan Sekretaris Dinas Arsip dan perpustakaan Kota Bandung sekaligus pegiat literasi media Medi Mahendra yang mengungkapkan bahwa fenomena di media sosial cenderung lebih menarik perhatian publik secara masal. Namun, fenomena perang informasi ini tidak diimbangi dengan literasi yang baik dari para penggunanya.

"Akang ingin klarifikasi, hari ini faktanya peminat baca itu enggak rendah, justru tinggi. Yang menjadi persoalan adalah budaya literasi kita yang rendah. Gara-gara budaya literasinya yang rendah, maka banyak sekali yang terlihat gugup. Padahal, kalau literasinya baik, maka maju tak gentar, membela yang benar. Kalau misalnya menjadi aparat penegak hukum yang literasinya bagus, mestinya memberikan pelayanan tidak akan dipersulit," jelas Medi saat membekali peserta mengenai Etika Bermedia Sosial dalam Mengawal Penegakan Integritas Hakim.

Medi juga memberikan penekanan bahwa sebaiknya dalam bermedia sosial perlu memperhatikan etika yang melibatkan prinsip-prinsip dan norma-norma yang mengatur perilaku seseorang ketika menggunakan media sosial. Menurutnya, kecenderungan pengguna media social kini mudah mempercayai pada kemasan tokoh hanya dalam satu menit video yang ditampilkan di media sosial saja. Elektabilitas dan intelektualitas tetap harus menjadi kriteria awal dalam menilai tokoh publik secara keseluruhan.

"Hidup itu pilihan, tetapi kalian harus pilih menjadi penegak hukum yang adil ya," tutup Medi. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait