CHA Lailatul Arofah Jelaskan Status Perkawinan WNI-WNA di Luar Negeri
Calon hakim agung kamar Agama pertama yang diwawancara pada Kamis (11/7/2024) di Auditorium KY, Jakarta adalah Hakim Tinggi Yustisial di Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) Lailatul Arofah.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung kamar Agama pertama yang diwawancara pada Kamis (11/7/2024) di Auditorium KY, Jakarta adalah Hakim Tinggi Yustisial di Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) Lailatul Arofah. 

Calon diberikan pertanyaan mengenai perkawinan Warga Negara Indonesia (WNI) dengan Warga Negara Asing (WNA) Belanda yang pernikahannya hanya berdasarkan catatan sipil. Beberapa tahun kemudian, keduanya kembali ke Indonesia dengan anak hasil pernikahan. 

Arofah menjelaskan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bagi WNI yang pernikahannya dilangsungkan di luar negeri, maka harus dicatatkan paling lambat 1 (satu) tahun setelah yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

Kalau misalnya lebih dari 1 tahun tidak dicatatkan, maka seperti tertuang dalam SEMA Pleno Kamar, selanjutnya bisa diajukan itsbat nikah. Jika ini dilakukan, lanjut Arofah, maka berdasarkan hukum Islam yang prosesnya di pengadilan agama (PA) dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai acuan.

Metode ini dulu sering dijadikan model penyelundupan hukum bagi WNI yang ingin menikah beda agama. "Tapi kalau ingin langsung dicatatkan, mereka tercatat di catatan sipil sebagai suami istri. Tampaknya selama ini model yang seperti ini dilakukan untuk pernikahan beda agama,” beber Arofah.

Terkait dengan kewarganegaraan, sebelum disahkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, anak yang keduanya orang tua berbeda warga negara, maka mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Setelah adanya perubahan UU, anak sebelum usia 18 tahun memiliki dua kewarganegaraan, yaitu warga negara Indonesia atau warga negara Belanda.

“Setelah 18 tahun dia harus mengambil sikap untuk memilih, apakah kewarganegaran ayah atau ibunya. Selanjutnya orang tuanya ada pilihan apakah pasangannya warga negara Belanda yang masuk sebagai WNI. Kalau tidak tetap sebagai warga negara Belanda,” ujar Arofah.

Jika terjadi perceraian, untuk hak asuh anak di bawah 12 tahun, menurut ajaran Islam maka ikut ibunya. Namun, sekarang ada banyak permintaan pengasuhan bersama. Jika berdasarkan kesepakatan kedua orang tua, maka dapat dilakukan pengasuhan bersama. Namun, jika sudah berusia 12 tahun dan ingin ikut salah satu, maka anak bisa memilih.

“Perceraian harus dilakukan di depan sidang pengadilan. Akibat perceraian yang lain apakah hak asuh anak, atau harta bersama, dan lain-lain dapat diselesaikan di luar persidangan. Untuk hak asuh anak, tidak wajib ada putusan pengadilan, karena yang wajib ada adalah putusan perceraian," lanjut Arofah. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait