Calon Hakim ad hoc HAM MA Agus Budianto: Penegakan HAM di Indonesia Terkendala Rekomendasi Komnas HAM yang Jarang Ditindaklanjuti
Calon hakim ad hoc HAM di MA pertama yang diwawancara adalah Guru Besar Universitas Pelita Harapan Agus Budianto.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Memasuki hari terakhir wawancara calon hakim agung dan calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung tahun 2024, Kamis (11/7/2024) di Auditorium KY menghadirkan 3 calon hakim ad hoc HAM di MA, yaitu Agus Budianto, Bonifasius Nadya Arybowo, dan Mochammad Agus Salim, serta 2 calon hakim agung kamar Agama, yaitu Lailatul Arofah dan Muhayah. 

Calon hakim ad hoc HAM di MA pertama yang diwawancara adalah Guru Besar Universitas Pelita Harapan Agus Budianto. 

Calon berpendapat bahwa penerapan HAM di Indonesia sudah diakomodir dengan dengan adanya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 dan Pengadilan HAM, serta undang-undang lain yang berkaitan atau menyentuh prinsip dasar manusia. 

Namun, penegakannya belum maksimal karena Komnas HAM yang dalam hal ini diberikan kewenangan melakukan penyelidikan, tetapi hasil penyelidikannya hanya berupa rekomendasi yaitu ditindaklanjuti atau tidak ditindaklanjuti. Padahal, kata Agus, hasil penyelidikan itu benar-benar berdasarkan alat bukti yang ada. 

“Kemudian hasil rekomendasi Komas HAM jarang sekali yang ditindaklanjuti oleh kepolisian atau kejaksaan. Hal itu yang menjadi permasalahan dasar penegakan HAM di Indonesia,” beber Agus.

Agus juga menjelaskan mengenai kekerasan PKI tahun 1965, di mana pada masa tersebut PKI secara histori memiliki anggota yang banyak sekali. Ketika anggota-anggota daerah tidak mengikuti arahan pimpinannya, ada banyak anggota PKI ini yang kemudian dibunuh juga oleh pengurus tingkat pusat maupun daerah. 

“Pertanyaannya adalah PKI ini korban atau pelaku kekerasan yang pada waktu itu dinyatakan sebagai organisasi terlarang oleh negara. Di satu sisi, dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti instruksi pimpinan PKI tadi,” ujar Agus.

Ketika PKI dinyatakan terlarang dan banyak korban dari kekerasan PKI, maka harus dilihat apakah sebenarnya PKI yang melakukan tindak kekerasan ini sebagai korban atau pelaku. Ketika ditelusuri, jika dikatakan sebagai pelaku, beberapa kebijakan pemerintah sudah cukup memberikan hukuman pada waktu itu. Seperti KTP dicantumkan keterangan eks PKI, kemudian beberapa anak atau turunan dari PKI tidak dapat kesempatan bersekolah, dan ada beberapa yang dihukum penjara. Hal itu sudah sebagai punishment dari pemerintah. 

“Pertanyaannya apakah punishment itu menyelesaikan persoalan? Tentunya tidak, toh mereka sebagai korban kebijakan PKI adalah warga (negara) kita sendiri,” ungkap Agus.

Agus melanjutkan, kemudian munculah lembaga yang namanya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Adanya perdamaian dan adanya pernyatan bahwa anak cucu dari anggota PKI yang dulu membelot atau pengkhianat NKRI, kemudian diberikan privilege oleh pemerintah supaya masyarakat tahu bahwa mereka itu bukan musuh negara. 

“Cukup organisasinya dilarang, tapi (keturunan) anggotanya diperbaiki mental dan moralnya dengan privilege seperti tadi,” pungkas Agus. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait