CHA Mustamar: Kelemahan PTUN Terletak pada Eksekusi Putusan yang Sering Diabaikan
Calon hakim agung terakhir dari Kamar TUN yang diwawancara di hari ketiga, Rabu (10/7/2024) adalah Hakim Tinggi Yustisial di Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) Mustamar.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung terakhir dari Kamar TUN yang diwawancara di hari ketiga, Rabu (10/7/2024) adalah Hakim Tinggi Yustisial di Badan Pengawasan Mahkamah Agung (Bawas MA) Mustamar. Calon ditanya terkait eksekusi putusan pengadilan tata usaha negara (PTUN) yang sering diabaikan. Undang-undang (UU) mengamanatkan self execution yang artinya eksekusi dilakukan sendiri oleh pejabat yang dikalahkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. 

"Kendala ini menjadikan ada istilah secara teori kemenangan di PTUN hanya menang di atas kertas, seperti macan ompong. Karena eksekusinya bukan orang pengadilan, namun pejabat negara yang dikalahkan," cerita Mustamar.

Ketua PTUN hanya berwenang sebagai pengawas eksekusi. Sementara kesadaran hukum pejabat masih rendah. Ia juga menyoroti peran juru sita yang tidak optimal dalam eksekusi putusan PTUN. Mustamar berpendapat karena mungkin norma hukumnya berasal dari negara Perancis di mana pejabat yang dikalahkan pengadilan dengan kesadaran sendiri akan secara sukerela melaksanakan keputusan. 

"Mereka akan malu jika tidak menjalankan keputusan pengadilan. Sedangkan di negara kita, pejabat kita justru merasa kalah pengadilan itu harga dirinya dikalahkan masyarakat biasa,” ungkap Mustamar.

Ia menawarkan beberapa solusi, misalnya: ada dasar hukum yang mengatur agar PTUN dapat memberikan sanksi kepada pejbat yang tidak melakukan eksekusi.

Atau bisa dengan mendatangi lembaga penyiaran publik untuk mengumumkan pejabat yang tidak taat putusan pengadilan. Hal lain adalah menghubungi Kementerian PAN-RB atau kepada lembaga yang terkait terhadap pejabat untuk memberikan sanksi administrasi kepada pejabat yang tidak taat, serta menghubungi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara agar diberi sanksi dwangsom (uang paksa) seperti norma yang sudah ada di PTUN.

Calon juga diminta pendapatnya soal sengketa sertifikat tanah ganda. Dalam kasus ini, calon menilai bahwa harus dipastikan terlebih dahulu pemilik sah tanah tersebut. Ada titik singgung kewenangan antara peradilan umum (perdata) dengan PTUN. 

"Sesudah jelas pemiliknya, barulah pemilik sertifikat yang sah melakukan pembatalan sertifikat yang dimiliki pemilik yang tidak benar itu ke PTUN," urai Mustamar. (KY/Noer/Festy)

 


Berita Terkait