Depok (Komisi Yudisial) - Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi mengungkap adanya benturan antara prinsip finalitas dan falibilitas terhadap putusan pengadilan di Indonesia yang bertemu pada suatu mekanisme yang disebut dengan Peninjauan Kembali (PK). Kadafi mengelaborasi kedua prinsip tersebut dalam disertasi yang kemudian dibukukan dengan judul "Peninjauan Kembali: Koreksi Kesalahan dan Putusan".
"Setelah mengelaborasi kedua prinsip tersebut, saya kemudian mengumpulkan berbagai teori dengan mengacu pada dua prinsip tadi, ada banyak argumentasi yang mendukung PK sebagai mekanisme untuk mengoreksi putusan yang sudah final sekalipun. Mereka yang mendukung PK beranggapan bahwa PK penting untuk mengoreksi kesalahan, meningkatkan akurasi putusan, dan mengembalikan kepercayaan publik," jelas Kadafi.
Ia menyampaikan hal itu saat menjadi narasumber dalam bedah buku pada Rangkaian Perayaan Dies Natalis 100 Tahun Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang digagas oleh Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Iluni FHUI), Jumat (31/05) di Auditorium FHUI, Depok. Panel diskusi turut mengulas pandangan jaksa, hakim, dan advokat terhadap asas dan doktrin hukum Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan.
Sementara di sisi lain, para teoris yang menolak mekanisme PK menganggap bahwa PK potensial membatasi hak terdakwa dan tidak berguna bagi terpidana karena hukuman sudah dijalankan mengingat mekanisme PK yang bisa makan waktu lama setelah suatu putusan menjadi final. Selain itu, PK juga dianggap sebagai sebuah mekanisme hukum yang mahal yang mau tidak mau jadi beban baru bagi pengadilan, serta dapat membuka kembali trauma di tengah masyarakat yang muncul akibat suatu peristiwa pidana.
"Saya melakukan wawancara dengan berbagai praktisi hukum, semuanya mengedepankan fungsi PK dalam mengoreksi kesalahan. Jadi, hampir tidak ada yang berpendapat bahwa PK sesungguhnya memiliki fungsi yang sama pentingnya tetapi sering kali diabaikan, yaitu untuk menjaga finalitas putusan pengadilan. Ini adalah kontribusi teori buku saya yang pertama bahwa PK tidak hanya untuk 'correction of error', tetapi juga untuk menjaga finalitas putusan," jelas Kadafi.
Menurut Kadafi, praktik PK di Indonesia diwarnai dengan berbagai permasalahan. Permasalahan mulai dari permohonan PK yang sangat tinggi, yaitu mencapai 9.512 pada tahun 2022 hingga praktik permohonan PK yang didasarkan pada alasan yang lemah. Hal ini seperti yang diungkapkan MA bahwa hanya 20 persen permohonan yang didasarkan pada alasan yang layak, sedangkan alasan diajukannya PK didominasi pada kekhilafan hakim yang dianggap Kadafi sebagai alasan paling serampangan dan bermasalah.
Kadafi menyarankan agar kekhilafan hakim dapat dihapus dari alasan pengajuan PK. PK hanya boleh diajukan atas kesalahan faktual, bukan kesalahan hukum (question of law).
Menanggapi paparan dari Kadafi, Hakim Yustisial Badan Pengawasan MA Anisah Shofiawati dalam kacamata profesi hakim juga menanggapi problematika PK yang diajukan dengan alasan kekhilafan hakim.
"Pertama saya berharap buku ini dapat dibaca oleh hakim agung yang memutus PK agar dapat membuat putusan yang baik. Mengenai alasan kekhilafan hakim dalam PK, hal itu juga perlu ditentukan sejauh mana diartikannya. Apakah perbedaan pendapat pada kasus yang sama bisa dimaknai sebagai kekhilafan salah satu hakim?" tanya Anisah.
Ketua Umum PERADI Luhut Pangaribuan dan Staf Ahli Kejaksaan RI Nanendra Jatna memiliki penilaian yang sama terkait buku yang diangkat dari disertasi Kadafi saat menyelesaikan pendidikan di Tilburg University ini. Buku ini dianggap cukup jelas dan detail dalam menjabarkan PK dari hulu hingga hilir dalam sistem peradilan yang bisa menjadi referensi bagi jaksa maupun advokat. (KY/Halima/Festy)