CHA Sudharmawatiningsih: Keyakinan Hakim Harus Dibangun dari Dua Alat Bukti yang Sah
Calon hakim agung (CHA) kedua di hari ketiga untuk Kamar Pidana adalah Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Sudharmawatiningsih.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim agung (CHA) kedua di hari ketiga untuk Kamar Pidana adalah Panitera Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Sudharmawatiningsih. Calon ditanya bagaimana cara membangun keyakinan hakim saat memutus perkara. Menurutnya, saat hakim membangun keyakinan untuk pembuktian, maka diperlukan dua alat bukti yang sah. 

Berdasarkan Pasal 183 KUHAP bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 

"Jadi keyakinan hakim dibangun dari dua alat bukti yang di persidangan," jelas Sudharmawatiningsih dalam wawancara seleksi calon hakim agung, Rabu (18/10) di Auditorium KY, Jakarta.

Sudharmawatiningsih juga ditanyakan mengenai motif dalam tindak pidana. Menurutnya, motif dan tujuan menjadi pertimbangan hakim untuk menjatuhkan pidana karena dalam motif mempunyai fungsi bagi hakim untuk mengetahui latar belakang dan alasan terjadinya tindak pidana. Dihubungkan dengan fakta di proses persidangan, maka hakim akan memberikan pertimbangan untuk putusan. 

Dalam KUHP yang masih berlaku sekarang, tidak diatur motif harus dibuktikan karena bukan unsur tindak pidana. Namun, motif dan tujuan sebagai bagian pertimbangan hakim ketika akan menjatuhkan putusan. 

“Akan menjadi _ius constituendum_ apabila KUHP baru diberlakukan, ketika hakim akan menjatuhkan putusan, maka akan menjadi bagian dari pertimbangan. Namun kalau saat ini tidak mengikat apakah motif harus dibuktikan atau tidak karena bukan unsur,” jelas Sudharmawatiningsih.

Sudharmawatiningsih ditanya kapan suatu perbuatan menjadi delik, terutama semakin blurnya batasan delik pidana dan delik hukum lainnya. Sudharmawatiningsih menjabarkan bahwa suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai delik apabila perbuatan tersebut sudah diatur oleh undang-undang. Apabila telah mengandung pencelaan, yakni sebuah perbuatan tercela, mengandung nilai-nilai yang diatur dalam peraturan dan diberikan sanksi bagi yang melanggarnya. Pencelaan saja tidak bisa jadi delik, tapi ketika sudah ada sanksinya dan diatur dalam peraturan, baru bisa menjadi delik. Jadi delik itu menjadi delik yang selesai dan diatur dalam undang-undang atau peraturan. 

“Contoh KDRT, tadinya tidak diatur dalam peraturan hukum khusus. Di samping Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional, ada bentuk perlindungan istri, anak, suami, bahkan ART dalam lingkungan rumah tangga. Jadi yang tadinya sifatnya privat, ada pertengkaran dan kekerasan. Setelah ratifikasi, maka adanya hak perlindungan dan hidup yang sehat diatur dalam undang-undang KDRT,” pungkas Sudharmawatiningsih. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait