Jakarta (Komisi Yudisial) – Peserta ketiga seleksi wawancara calon hakim agung dari Kamar Pidana ketiga Minanoer Rachman mengungkapkan syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana untuk memohon grasi pada presiden.
"Dengan mengajukan grasi, maka ia mengakui kesalahannya, seehingga tertutup peluang melakukan upaya hukum. Sedangkan dalam upaya hukum, ia menganggap dirinya tidak bersalah. Jadi, jika meminta grasi maka mengakui bersalah dan meminta maaf," jelas Minanoer Rachman ketika disinggung pendapatnya terkait film dokumenter Ice Cold yang sedang viral saat ini.
Menurutnya, dalam kasus ini, kewenangan Mahkamah Agung (MA) yang relevan adalah terkait upaya hukum Peninjauan Kembali (PK). Lalu memberi nasihat kepada instansi terkait yang meminta dalam bentuk fatwa. Terakhir, memberikan argumentasi untuk landasan pertimbangan grasi kepada presiden.
Grasi diajukan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap atau inkrah. Jika di tingkat pengadilan negeri atau pengadilan tinggi, maka melakukan upaya hukum kasasi tertutup jika mengajukan grasi. Sedangkan di tingkat MA, upaya hukum PK tertutup.
“Bagi saya, terpidana silahkan melakukan PK kedua kalau menurut terpidana ada kekeliruan, walaupun ada alasan hukum yang bertentangan. Uniknya proses PK kedua, kalau dulu harus ada putusan yang bertentangan. Sedangkan aturan terbaru, harus ada putusan berbeda meskipun hanya satu case," jelas Rachman.
Seorang terpidana boleh mengajukan upaya hukum apapun, karena pengadilan tidak bisa menolak perkara. Namun harus dipertimbangkan jika hendak mengajukan grasi, artinya sudah mengakui kesalahannya, dan pengakuan adalah salah satu bukti terkuat.
"Jika sudah mengakui, untuk apa mengabulkan kasasi ataupun PK-nya. Kadang ditemukan kasus terpidana melakukan grasi berdekatan dengan mengajukan PK secara bersama-sama, dan pengadilan tidak bisa menolak," ungkapnya.
Terakhir Rachman ditanyakan mengenai laporan dari pihak pembuat film Ice Cold, bahwa mereka tidak diberikan akses untuk bertemu terpidana, sedangkan pelaku terorisme saja masih bisa diwawancara.
“Ada namanya hak informasi, meskipun kewenangan memberi izin dari Lembaga Pemasyarakatan. Siapapun bisa berkunjung dan meminta informasi kepada terpidana. Baik untuk kepentingan PK atau wawancara. Apabila ada pelanggaran akses informasi, dapat melakukan gugatan baik ke Komisi Informasi Pusat, maupun ke PN jika tidak puas,” pungkas Rachman. (KY/Noer/Festy)