CHA Catur Iriantoro: Hakim Perlu Bangun Keyakinan dalam Memutus Perkara
Calon hakim agung dari Kamar Pidana kedua yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung Catur Iriantoro, Selasa (17/10) di Auditorium KY, Jakarta. Panelis mendalami pemahaman dan pengalaman calon mengenai dasar hukum yang digunakan dalam memutus perkara.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon hakim agung dari Kamar Pidana kedua yang diwawancara adalah Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Bandung Catur Iriantoro, Selasa (17/10) di Auditorium KY, Jakarta. Panelis mendalami pemahaman dan pengalaman calon mengenai dasar hukum yang digunakan dalam memutus perkara.

Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Calon tegas mengklaim jika selama bertugas dirinya telah menyandarkan amar putusannya pada dasar hukum yang diwajibkan UU. 

“Secara formil, dasar yang pertama tentu adalah sumber hukum tertulis, yaitu KUHP, hukum pidana khusus, dan tidak tertutup kemungkinan ada juga hukum adat yang masih hidup. Secara materil, tentunya merujuk pada KUHAP Pasal 197 yang mengatur hal-hal apa saja yang harus ada dalam putusan, misalnya pernyataan bersalah," jelas Catur.

Meski calon menyampaikan bahwa dasar hukum materil itu menjadi salah satu dasar dirinya dalam memutus, Catur juga berargumen bahwa elemen muatan tersebut bersifat fakultatif, tidak wajib dimuat lengkap. Dalam beberapa kasus, calon mengungkapkan bahwa kelengkapannya bisa dan/ ada yang disimpangi.

“Ada yang disimpangi, misalnya dalam status penahanan. Andai dia tidak ditahan sejak awal, maka tidak harus ada suatu penahanan. Tapi ada hal-hal lain yang wajib diikuti, yang apabila tidak dipenuhi bisa batal demi hukum," tegas Catur.

Masih menggali tentang dasar hukum dalam memutus perkara, panelis bertanya bagaimana calon membangun sebuah keyakinan dalam membuat keputusan.

“Tentu kita kembali pada teori pembuktian di mana Pasal 184 KUHAP menjelaskan harus ada minimal dua alat bukti yang sah baik, berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berikutnya adalah hakim yakin tanpa keraguan sama sekali bahwa terdakwa lah pelakunya. Bila keterangan terdakwanya mangkir, jangan mempergunakan itu, tetapi keterangan alat bukti lain," lanjut Catur.

Calon juga menambahkan gambaran posisi hakim apabila tidak menemukan dua alat bukti yang telah disyaratkan KUHAP. 

”Jika dua alat bukti lemah tentu kita tidak bisa memakai alat bukti ini, ada keterbatasan di sana. Kemungkinan lain dari ketidakcukupan bukti tersebut menyebabkan hakim tidak yakin yang artinya bisa bebas. Walaupun itu akan menggemparkan masyarakat," tutup Catur. (KY/Halimatu/Festy)


Berita Terkait