Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) menggelar seleksi wawancara calon hakim agung dan calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) pada Senin (16/10) hingga Kamis (19/10) di Auditorium KY, Jakarta.
Di hari pertama, wawancara diikuti oleh 2 calon hakim agung dari Kamar Perdata, yaitu Agus Subroto dan Heru Pramono, 2 calon dari Kamar Tata Usaha Negara (TUN), yakni Hari Sih Advianto dan Ruwayidah Afiyanti, serta 1 calon dari Kamar Pidana, yaitu Achmad Setyo.
Calon hakim agung pertama dari Kamar Perdata merupakan Panitera Muda Perdata Khusus MA Agus Subroto. Agus banyak ditanya mengenai hukum adat, sesuai dengan topik makalah yang dibuat pada seleksi kualitas. Menurut calon, di Indonesia yang luas dan plural ini, maka penyatuan hukum waris adat tergantung pada kehendak dan dinamika masyarakat setempat.
"Bila masyakat menghendaki, persatuan hukum pasti akan terjadi. Namun, bila masyarakat masih tetap bersikukuh dengan hukum adat, bagaimana pun regulasi mengaturnya itu tidak akan terjadi," jelas Agus.
Sadar dengan adanya kondisi dualisme hukum di lapangan, calon menawarkan beberapa hal yang menjadi modal utama untuk menyatukan hukum waris adat di Indonesia menjadi hukum waris nasional. Modal tersebut terdiri dari hukum adat itu sendiri, sistem hukum Islam, dan hukum barat.
"Ketiga komponen ini merupakan sumber yang harus diperlakukan sama derajatnya. Artinya, tidak boleh lebih tinggi, ataupun tidak ada yang rendah. Ketiga sumber itu kita gali bersama, kita tarik persamaannya, bila terjadi persamaan itulah sumber utama pembentukan hukum waris adat nasional," gagas calon.
Masih tentang hukum adat, calon juga ditanya panelis mengenai pandangan calon yang setuju pada pendapat ahli yang menjelaskan bahwa upaya penyeragaman bentuk pemerintahan oleh pemerintah telah gagal dilaksanakan. Dalam contoh perkara, calon mencontohkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.
"Betapapun pemerintah meregulasi, tetapi apabila belum dikhendaki masyarakat, maka ketetentuan adat lah yang berlaku. Sebagai contoh, memang saya ungkapkan pada UU Nomor 5 Tahun 1979 yang sementara oleh ahli dikatakan gagal. Dalam undang-undang tersebut, disebutkan tentang bentuk pemerintahan terendah dengan sebutan kelurahan, semua disamaratakan antara Jawa dan luar Jawa. Tapi itu tidak berhasil karena kelurahan itu sendiri bagi masyarakat tertentu memiliki arti tertentu, sementara bagi masyarakat lain memilikii arti lainnya. Sehingga paksaan dalam arti tanda kutip itu tidak berhasil menerapkan penyeragaman istilah pemerintahan terendah," ungkap Agus.
Calon meyakinkan bahwa meski hukum adat bentuknya tidak tertulis, harusnya tidak menjadikan hakim dilema dalam memutus perkara hukum adat.
"Bahwa sumber hukum yang harus dipahami benar oleh hakim, yaitu pertama sendiri adalah undang-undang, peraturan hukum tertulis. Yang kedua adalah hukum kebiasaan atau hakim tidak tertulis. Ketiga yuriprudensi, dan lainnya. Jangan menghilangkan bahwa hukum tidak tertulis juga merupakan sumber hukum bagi hakim dalam mengadili kasus," tutup Agus. (KY/Halima/Festy)