Denpasar (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata diundang sebagai narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Peran Pejabat Umum Mencegah Mafia Tanah Melalui Pengadilan dan Upaya KY Mengawasi Perilaku Hakim”.
FGD ini diselenggarakan oleh Program Studi Magister Kenoktariatan dan Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Warmadewa. Puluhan mahasiswa pascasarjana hadir dalam FGD yang digelar pada Jumat (02/06), di Gedung Widya Sabha Uttama Universitas Warmadewa.
Mafia tanah menjadi perhatian khusus pemerintah, terutama oleh presiden. Ada ratusan hektar tanah yang kedudukan hukumnya menjadi tidak jelas. Banyak sengketa soal tanah, dan kebanyakan terkait tanah desa adat. Ada 80 ribuan desa di Indonesia, dan lima ribuan masih berstatus tanah adat. Masalahnya, tanah adat tidak punya legalitas secara de jure. Catatan Kementerian Agraria, yang merupakan salah satu pelapor di KY, ada beberapa catatan pekerjaan rumah bagi negara. Salah satunya tanah adat masih sifatnya de facto, karena belum memiliki sertifikat hak atas tanah adat.
“Ada catatan dari Asosiasi Hukum Adat. Banyak kasus tanah hukum adat yang dilakukan oleh mafia tanah masuk ke peradilan umum, di mana bukti terkuatnya surat. Ini yang membuat tanah adat banyak tergerus,” jelas Mukti.
Mafia tanah adat bisa individu, institusi, korporasi, bahkan negara. Meskipun dalam kasus pelakunya negara, sebenarnya tidak bermaksud mengambil tanah untuk kepentingan pribadi.
“Saya tidak bisa buka siapa orang di balik mafia tanah ini. Mereka tidak tampak, susah ditelusuri, tapi kekuatannya nyata. Untuk itu kami minta dukungan Universitas Warmadewa agar menyuarakan masalah ini ke Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Menteri sangat concern dan berani terkait mafia tanah," beber Mukti.
Hampir semua provinsi ada kasus tanah. Baik berupa sengketa waris, sertifikat ganda, keberatan atas proses peradilan, dan lain-lain. Intinya mafia tanah ingin mendapat legalitas dari merebut tanah dengan mendapat putusan hakim. Bahkan tanah yang dimiliki negara bisa diambil, apalagi tanah ulayat, yang di mana 30 persen tanah negara itu tanah adat.
“Saya pernah mengusulkan agar ada hakim ad hoc adat. Dibentuk khusus hanya sidang saat perkara terkait tanah terjadi, lalu dibubarkan. Tidak perlu 5 tahun seperti hakim ad hoc yang lain. Karena kalau sudah masuk ke peradilan umum, susah untuk mengalahkan mafia tanah,” pungkas Mukti. (KY/Noer/Festy)