Jakarta (Komisi Yudisial) - Sebanyak 35 orang calon hakim militer dan pendamping dari Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Mahkamah Agung (MA) mengunjungi Komisi Yudisial (KY) pada Jumat (12/05). Kunjungan rutin ini dilakukan sebagai ajang untuk mengenal KY dan kewenangannya yang beririsan dengan peradilan. Rombongan diterima oleh Anggota KY Siti Nurdjanah di Auditorium KY, Jakarta.
Salah satu isu yang dibahas dalam audiensi adalah kewenangan KY dalam mengawasi hakim. Nurdjanah memaparkan bahwa semua hakim di bawah MA merupakan subjek yang diawasi oleh KY. Pengawasan KY bersifat eksternal, sementara pengawasan internal dilakukan oleh Bawas MA. Pengawasan berpatokan pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang merupakan panduan bagi hakim dalam menjalankan sikap, baik di dalam maupun di luar persidangan.
“KY tidak mengawasi teknis yudisial, tetapi kadang ada yang abu-abu. Untuk mengatasi penghambat itu, maka dibentuk Tim Penghubung antara KY dan MA. Kita sudah bahas, bagi yang abu-abu akan kita lakukan pemeriksaan bersama antara KY dan Bawas MA. Tidak selalu yang memeriksa komisoner KY, tetapi dapat dibantu oleh tenaga ahli. Komisioner bisa hadir sebagai penjamin mutu,” beber Nurdjanah.
Bagi hakim yang melakukan pelanggaran berat dan diancam sanksi pemberhentian, kemudian dilakukan Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Komposisi MKH berdasarkan peraturan terdari dari empat orang Anggota KY dan tiga orang hakim agung. Di dalam pelaksanaan MKH, mungkin ada kekhawatiran dari pihak terkait bahwa keputusan Anggota KY pasti menang karena memiliki empat anggota.
“MKH itu forum pembelaan diri di mana Terlapor bisa mengajukan saksi. Setelah kita mendengar semua pihak, sanksi berubah itu dimungkinkan. Dari pemberhentian menjadi nonpalu. Begitu kita melihat realitas di lapangan dan ruang sidang, maka ada kemungkinan putusan bisa berubah. Yang saya alami sebagai anggota MKH, tidak ada satu putusan yang semua Anggota KY sepakat,” jelas Nurdjanah.
Nurdjanah juga sempat mengungkap bila banyak pihak yang merasa proses penyelesaian laporan di KY terbilang lama. Menurutnya, hal itu karena KY harus memastikan penanganan laporan berdasarkan rasa keadilan.
"Jadi, bukan berarti berlarut-larut, tetapi hati-hati karena khawatir laporan yang diterima palsu. Bila laporan yang diterima palsu, kita akan periksa. Jika laporan dari hakim, KY akan menindak karena melanggar KEPPH telah membuat laporan palsu. Jika yang melakukan panitera atau pegawai peradilan, dikembalikan ke MA untuk ditindaklanjuti, karena kewenanganya bukan di KY," pungkas Nurdjanah. (KY/Noer/Festy)