Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) menerima audiensi dari Komnas HAM, Rabu (03/05), di Ruang Rapat Pimpinan KY, Jakarta. Agenda ini merupakan pertemuan pertama antar pimpinan kedua lembaga, sejak Anggota Komnas HAM dilantik pada akhir tahun 2022.
Hadir dalam pertemuan tersebut Anggota KY Siti Nurdjanah, Joko Sasmito, Binziad Kadafi, serta didampingi Sekretaris Jenderal KY Arie Sudihar. Sementara hadir mewakili Komnas HAM adalah Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro, Wakil Ketua Bidang Eksternal Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua Bidang Internal Pramono Ubaid Tantowi, dan komisoner Komnas HAM lainnya. Salah satu pembahasan dalam pertemuan tersebut terkait seleksi calon hakim ad hoc HAM di Mahkamah Agung (MA).
Anggota KY Siti Nurdjanah menegaskan bahwa KY siap menerima masukan dari Komnas HAM terkait seleksi calon hakim ad hoc HAM di MA. Nurdjanah membeberkan, semua calon hakim ad hoc HAM yang diusulkan pada seleksi sebelumnya dinyatakan tidak disetujui oleh DPR. Padahal, KY berharap ada yang disetujui karena ada banyak kasus HAM yang harus diselesaikan di tingkat MA.
“Kesulitan dalam proses seleksi calon hakim ad hoc HAM antara lain minat para calon yang sedikit, persyaratan yang dianggap berat oleh para calon potensial, dan hal lain-lain terkait persyaratan dan kompetensi. Mumpung ini kesempatan kita bertemu, berikan kami masukan dan dukungan. Insyaallah pada 8 Mei 2023 ini KY akan melakukan seleksi calon hakim ad hoc HAM,” ujar Nurdjanah.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro memastikan bahwa yang diungkap oleh KY sudah dicatat, khususnya dukungan terhadap hakim ad hoc HAM dan proses seleksinya.
“Dalam kaitan itulah, Komnas HAM melihat pentingnya bekerja sama dengan lembaga terkait, salah satunya KY dan MA. Ajang ini sekaligus silaturahmi, berkenalan secara personal dan koordinasi untuk penyelesaian perkara ke depan,” jelas Atnike.
Atnike melanjutkan, sudah ada 17 kasus yang diselidiki oleh Komnas HAM dan disimpulkan sebagai pelanggaran HAM berat. Bahkan bisa dilihat di media pada minggu ini, pemerintah mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat. Oleh karena itu, Komnas HAM terus mendorong penyelesaian melalui jalur peradilan.
“Kami baru bekerja kurang dari enam bulan, tapi isu pelanggaran HAM berat kami jadikan sebagai isu utama untuk diproses. Salah satunya dengan memperkuat metode penyelesaian secara yudisial. Salah satu pelanggaran HAM berat yang sudah kami selesaikan adalah kasus Paniai, yang putusannya membebaskan seluruh tersangka,” ungkap Atnike.
Diskusi berlanjut dengan membahas hal-hal yang dapat dikerjasamakan antara kedua lembaga, yang rencananya akan dituangkan dalam nota kesepahaman. Di antaranya mengenai pelatihan bagi hakim ad hoc HAM, pemetaan hakim ad hoc HAM potensial, dan lain-lain. (KY/Noer/Festy)