Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim ad hoc Hak Asasi Manusia (HAM) di Mahkamah Agung (MA) kedua yang menjalani wawancara adalah Heppy Wajongkere yang berprofesi sebagai pengacara. Heppy diminta pandangannya terkait wacana Ratifikasi Statuta Roma oleh Indonesia.
Menurut Heppy, Indonesia sebenarnya belum melakukan ratifikasi. Namun di sisi lain, Undang-Undang (UU) No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM telah banyak mengadopsi Statuta Roma. Jadi, political will pemerintah untuk meratifikasi dapat dikatakan sudah dilakukan.
“Kepentingan dan nasionalisme menjadi sebuah alasan untuk tidak melangkah lebih jauh lagi meratifikasi Statuta Roma tersebut secara utuh,” tegas Heppy.
Heppy melanjutkan, ketika ia membaca sebuah konvensi yang diratifikasi, selalu ada yang dieksepsi terkait kedaulatan negara yang tidak bisa dikompromi dan perlu bersesuaian dengan kepentingan politik di negara ini.
Selanjutnya, panelis menanyakan langkah nyata pemerintah seperti komitmen politik, kebijakan, dan aturan sejak dilakukannya pengesahan Statuta Roma tersebut untuk menuju pada ratifikasi. Menurut Heppy, komitmen politik masih sebatas wacana walaupun itu semua timbul dari tokoh politik dan aktivis HAM.
“Menurut saya ini menjadi wacana bola liar karena tidak dibicarakan pada kementerian yang kompeten, padahal sebaiknya dibentuk focus group discussions untuk mematangkan wacana tersebut,” pungkas Heppy. (KY/Yandi/Festy)