Bandar Lampung (Komisi Yudisial) – Sebagai seorang hakim, Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang Syamsul Arief banyak ditanyakan tentang kasus hukum dalam Edukasi Publik Peran Serta KY dan Pemerintah Daerah Dalam Mewujudkan Peradilan Bersih di Provinsi Lampung. Salah satunya mengenai bagaimana menghadapi kasus pelecehan seksual. Kasus asusila dilakukan di tempat tertutup, tapi ada juga di tempat terbuka, misalnya kasus yang viral di transportasi umum. Bagaimana melaporkan?
Terkait mengenai alat bukti ada dalam KUHAP, yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa.
Keterangan terdakwa itu terakhir, dan jika sampai pelaku tidak mengakui akan susah. Aparat penegak hukum (APH) yang cerdas tahu memang sulit membuktikan, tapi di KUHAP ada bukti pentunjuk. Misalnya ada melihat korban anak naik motor dengan pamannya, itu bisa diperiksa di pengadilan. Alibi bisa dicek. Melalui visum ada dalam ilmu otopsi, diperiksa kapan dan berapa kali. Bukti visum ini dijadikan bukti petunjuk. Penyidik harusnya bisa menyajikan suatu data, untuk diberikan kepada hakim, karena yang bisa menggunakan bukti petunjuk itu hanya hakim.
“Saya pernah ketemu kasus pembunuhan tanpa ada yang melihat, tapi saya menarik berbagai petunjuk, sehingga tahu siapa yang melakukan. Kejadian asusila anak, melapor salah, tidak melapor salah. Seakan diperkosa dua kali, termasuk saat pemeriksaan. Sehingga ada SEMA terkait pemeriksaan kasus asusila. Mengejar bukti itu harus akurat. Saya berkoordinasi dengan APH untuk menemukan bukti dari petunjuk,” beber Arief.
Arief ditanyakan juga oleh peserta guru yang hadir, bagaimana menghadapi bullying di lingkungan sekolah, di mana korban dan pelaku adalah anak. Sekolah sudah berusaha semaksimal mungkin, namun terganjal aturan. Arief prihatin dengan adanya perudungan, tindakan keji anak-anak ini dilakukan karena ada pengaruh teman. Namun, jika pelaku perudungan anak ingin dipidanakan. Apakah tiap perudungan anak harus dilapor? Ada banyak hal lain dalam perudungan itu sendiri.
Bullying itu tantangan bersama untuk guru, karena yang sulit itu bukan menyampaikan pelajaran, tapi menanamkan karakter. Walaupun tidak bisa disalahkan, karena guru juga tidak mendapat materi terkait bullying di kurikulum. Sekali anak kena bullying itu luar biasa, karena efeknya sampai dewasa. Bullying tidak cuma fisik, tapi juga terjadi di dunia maya.
“Saya menemukan kasus pemerasan, kenalan di media sosial, berhubungan seksual direkam, minta duit. Ketika tidak diberikan, disebarkan. Untuk itu perlu dibuat kurikulum anti bullying. Sehingga tidak ada kasus tersebut naik ke pengadilan, karena akan repot. Korban anak, pelaku anak, orang tua susah,” jelas Arief. (KY/Noer/Festy)