Calon Hakim adhoc Tipikor Agustinus Permono: UU Tipikor Sudah Memadai
Peserta pertama adalah Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Tinggi Makassar Agustinus Purwono Hadi.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Rangkaian seleksi wawancara calon hakim agung (CHA) dan calon hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Mahkamah Agung (MA) tahun 2021/2022 memasuki hari terakhir dengan menghadirkan 5 calon hakim ad hoc Tipikor di MA. Hadir sebagai pewawancara terdiri atas Pimpinan dan Anggota KY,  Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana dan mantan hakim agung Djoko Sarwoko. Peserta pertama adalah Hakim Ad Hoc Tipikor Pengadilan Tinggi Makassar Agustinus Purwono Hadi.

 

Panelis menyoroti adanya tindak pidana korupsi dalam promosi jabatan. Agustinus Permono diminta menjelaskan pandangannya, yang sebelumnya telah ditulis calon dalam karya tulis. Ia menegaskan, hal ini tidak disebabkan oleh lemahnya aturan yang tertuang dalam Undang-Undang Tipikor.

 

"Dalam kasus yang saya angkat dalam tulisan itu banyaknya tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang jual beli jabatan di daerah, bila dilihat dalam undang-undangnya, Undang-Undang Tipikor itu sudah cukup memadai bahkan sudah disempurnakan sejak peraturan penguasa perang pusat tahun 1958. Deliknya sudah lengkap, jadi seperti kesimpulan saya itu tidak bermasalah," jelas Agustinus.

 

Selain itu, dilihat dari struktur hukum terkait Tipikor pun calon mengungkapkan sudah cukup baik. Hal ini dapat dilihat  dari terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan kewenangan yang sangat besar sebagai pendorong dari penegak hukum yang lain dinilai sudah baik.

 

Calon justru menyoroti budaya hukumnya sendiri yang lemah. "Tidak hanya penegaknya, yaitu hakim, penuntutnya, pengacaranya, penyidiknya bahkan masyarakatnya. Misalnya masyarakat kalau berperkara maunya menang, cepat, berbagai cara ditempuh termasuk menyuap sudah menjadi budaya. 

Kalau itu saya katakan sebagian besar masyarakat mempunyai pandangan seperti itu," tutur Agustinus.

 

Tidak hanya sampai pada praktik penegakan hukum, calon menilai dalam meniti karier dalam lingkungan masyarakatpun sudah terjadi praktik-praktik jual beli jabatan yang didasari pada keinginan untuk mendapatkan jabatan secara instan yang tidak mengikuti mekanisme-mekanisme seharusnya. Praktik-praktik yang terjadi di masyarakat tesebut dinilai calon sebagai pemantik suap di peradilan dan fenomena jual beli jabatan. Namun, calon juga tetap menitikberatkan kepada  penegak hukum untuk melakukan evalusi dan perbaikan guna menghilangkan problematika yang terjadi. 

 

Kemudian calon juga ditanyakan cara untuk menjaga integritas dan independensi sebagai hakim agung nantinya di tengah gaduhnya intervensi-intervensi yang akan bermunculan. Agustinus Permono meyakinkan bahwa Kode Etik Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebagai acuan tertinggi seorang hakim dapat menyelamatkan calon dari segala bentuk intervensi. 

 

"Minumbulkan kesan saja tidak boleh, apalagi apalagi  berbuat yang betul-betul berpihak. Hakim kalau berpedoman pada 10 poin kode etik itu luar biasa, dan itu akan membawa dampak 

untuk menjaga juga independensi dan integritas institusi Mahkamah Agung," jelas Agustian.

 

Agustinus Permono menambahkan bahwa KEPPH harus diinternalisasikan kepada para hakim. Ia tidak menampik bahwa hakim sendiri memungkinkan untuk menjadi individu yang mudah terpengaruh, maka disinilah peran penguatan KEPPH yang dilakukan terus-menerus perlu dilakukan. Agustinus Permono menilai hal ini menjadi bagian dari menjaga hakim tetap  berada di jalur yang seharusnya. (KY/Halima/Festy)


Berita Terkait