Anggota KY Binziad Kadafi Berbicara Keluhuran dan Martabat Hakim Sambil Memperingati HUT PTUN ke-31
Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menjadi narasumber dalam Diskusi Reboan yang digagas PTUN Bandung pimpinan Subur Minan Sibi pada Rabu (19/01) secara virtual.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menjadi narasumber dalam Diskusi Reboan yang digagas PTUN Bandung pimpinan Subur Minan Sibi pada Rabu (19/01) secara virtual. Diskusi Reboan tersebut merupakan edisi spesial memperingati Hari Ulang Tahun ke-31 Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia, dengan tema “Kontekstualisasi dan Aktualisasi Kewenangan Menjaga Keluhuran dan Martabat Hakim”. 

 

Hadir pula dalam acara tersebut Ketua Kamar TUN Mahkamah Agung (MA) Supandi dan Dirjen Badilmiltun MA. Diskusi diikuti oleh para hakim agung kamar TUN MA, juga pimpinan serta para hakim dan jajaran PTUN dan PTTUN seluruh Indonesia.

 

Dalam kesempatan tersebut Kadafi menjelaskan bahwa fungsi KY menjaga  keluhuran dan martabat hakim hadir dalam kontekstualisasi gagasan tentang peradilan yang bersih dan mandiri, independensi dan akuntabilitas peradilan, serta peningkatan kepercayaan publik pada pengadilan.

 

Kontekstualisasi tersebut bukan hanya menjadi mandat KY, namun juga mandat lembaga peradilan, dalam hal ini MA. Pilihan bagi kedua lembaga untuk menjalankan mandat tersebut secara kolaboratif adalah keniscayaan. Karena menurut Kadafi, KY dan MA memiliki keterkaitan yang erat di berbagai aspek.

 

Keterkaitan ini bisa dilihat dari aspek sejarah pembentukan, kerangka hukum baik di level konstitusi maupun legislasi, pemetaan atas permasalahan lembaga peradilan, visi dan misi, tugas dan wewenang, serta tanggung jawab kepada publik.

 

Sementara aktualisasi fungsi menjaga kehormatan dan martabat hakim adalah dengan berfokus pada tugas dan wewenang MA dan KY yang sudah terjadi titik temu, misalnya pengawasan perilaku, peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, serta seleksi hakim agung yang berkualitas. Dengan itu saja dampaknya bagi masyarakat pencari keadilan sudah luar biasa. 

 

Namun demikian KY dan MA juga tidak boleh melupakan titik perbedaan. Perbedaan perlu diletakkan di atas meja, didiskusikan dengan kepala dingin, didukung oleh riset yang argumentatif melibatkan para pakar yang objektif dan independen untuk mencari titik temu agar tidak menjelma menjadi konflik. Misalnya dalam upaya mencari garis batas antara pelanggaran teknis yudisial (legal error) dan pelanggaran perilaku (judicial misconduct) oleh hakim di bidang pengawasan.

 

Dalam sesi tanya jawab, Kadafi ditanyakan tentang catatan pelanggaran KEPPH oleh hakim TUN. Kadafi memaparkan catatan bahwa sepanjang 2021, laporan yang masuk ke KY mengenai dugaan pelanggaran KEPPH oleh para hakim di lingkungan TUN (dan militer) lebih rendah dari lingkungan peradilan lain.

 

“Apakah ini mencerminkan standar kode etik dan perilaku yang lebih baik? Kami  berharap demikian adanya," harap Kadafi.

 

Menurut Kadafi, jumlah hakim TUN di Indonesia yang terbatas sebenarnya justru bisa menjadi kekuatan. Ketika ada upaya meningkatkan standar kualitas peradilan, maka hal itu bisa lebih dipastikan karena rentang kendalinya bisa lebih dikelola. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait