Jakarta (Komisi Yudisial) – Komisi Yudisial (KY) untuk pertama kalinya selama pandemi covid-19 menerima audiensi mahasiswa secara tatap muka di Press Room, Gedung KY pada Kamis (18/11). Rombongan berasal dari mahasiswa dan dosen pendamping Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta, Sumatera Barat. Karena masih dalam suasana pandemi, protokol kesehatan ketat diterapkan dengan membatasi peserta hanya 12 orang, dan peserta wajib membawa hasil tes antigen negatif yang berlaku 1 X 24 jam. Rombongan diterima oleh Juru Bicara KY Miko Ginting didampingi humas KY Festy Rahma Hidayati.
Dalam kesempatan tersebut Miko menjelaskan tentang sejarah, tugas, fungsi, dan kewenangan KY. Pada masa Orde Lama, pengadilan diposisikan sebagai “alat revolusi” (UU No. 19 Tahun 1964). Selanjutnya pada Orde Baru dalam UU No. 14 Tahun 1970 menganut sistem dua atap. Organisasi, administrasi, finansial berada di bawah Kementerian Kehakiman, sedangkan teknis peradilan di bawah Mahkamah Agung (MA). Di masa reformasi, melalui amandemen konstitusi UUD 1945, sistem dua atap peradilan menjadi satu atap.
“Namun timbul lagi pertanyaan, jika sudah satu atap, siapa yang akan mengawasi MA beserta peradilan di bawahnya? Untuk itulah KY dibentuk dalam rangka menjaga kemandirian atau independensi pengadilan,” jelas Miko.
KY diatur dalam BAB IX tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24B ayat (1). Sebelum rumusan final, bunyinya adalah “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung serta hakim lain (dengan memperhatikan masukan dari masyarakat)”. Namun isi pasal tersebut menjadi perdebatan oleh para tim perumus amandemen konstitusi.
“Kewenangan KY dirasakan terlalu sempit jika hanya untuk melakukan rekrutmen hakim agung. Padahal permasalahan dunia peradilan tidak semata soal proses rekrutmen,” ujar Miko.
Akhirnya setelah rumusan final, bunyi pasalnya adalah “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”.
"Frasa dalam 'dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim' ditambahkan untuk menampung segala masukan dari berbagai anggota tim perumus lain, yang kelak akan dituangkan dalam bentuk UU terkait,” kata Miko.
Kewenangan lain tersebut diturunkan dalam UU tentang KY, UU tentang Kekuasaan Kehakiman, UU tentang MA dan peradilan di bawahnya, serta UU MK. Kewenangan yang diberikan berbentuk pemantauan dan pengawasan perilaku hakim, mengambil langkah hukum atau langkah lain terhadap perbuatan merendahkan kehormatan hakim (PMKH), mengupayakan peningkatan kapasitas dan kesejahteraan hakim, dan lain-lain.
“Kewenangan yang diberikan tidak dibatasi bagi pembuat UU, selama dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim,” pungkas Miko. (KY/Noer/Festy)