Dasar KY dalam Rekrutmen Hakim ad hoc di MA Konstitusional
Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menyampaikan beberapa poin dari keterangan ahli yang dihadirkan oleh KY dalam sidang uji materi di MK.

Jakarta (Komisi Yudisial) - Dalam kesempatan Press Briefing “Kedudukan KY dalam Melakukan Seleksi Calon Hakim ad hoc di Mahkamah Agung (MA)”, Anggota Komisi Yudisial (KY) Binziad Kadafi menyampaikan beberapa poin dari keterangan ahli yang dihadirkan oleh KY dalam sidang uji materi di MK.

 

Salah satunya keterangan yang disampaikan oleh Anggota DPR RI Benny K Harman yang menyatakan bahwa kewenangan KY untuk melakukan seleksi calon hakim ad hoc di MA bukan berasal dari perluasan dari frasa “hakim agung” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, tetapi dari frasa “wewenang lain...” dalam pasal yang sama. Pembentuk UU berwenang menentukan kewenangan KY sepanjang untuk mencapai tujuan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Kewenangan KY juga muncul dari Pasal 25 UUD 1945 yang menyatakan diangkat dan diberhentikan melalui UU. Artinya, pembentuk UU yang berwenang menentukan siapa yang memiliki kewenangan sebagai bentuk open legal policy.

 

Lanjut Kadafi, Anggota KY yang membidangi urusan hukum sekaligus perwakilan KY dalam uji materi ini, dalil pemohon bahwa seleksi menjadi berbelit-belit tidak tepat. Seleksi diadakan secara hati-hati, partisipatif, dan transparan untuk mendapatkan hakim baik. Bukan soal lama dan berbelit-belit. Terkadang menyederhanakan proses dapat berdampak pada akuntabilitas.

 

Guru Besar Universitas Islam Indonesia Ni’matul Huda memberikan keterangan hak konstitusional pemohon tidak dirugikan dengan adanya norma ini, karena pemohon dapat mendaftar dan mengikuti seleksi calon hakim ad hoc Tipikor di MA yang diselenggarakan KY. Pemohon bahkan menyatakan “tidak mempersoalkan sistem seleksi calon hakim ad hoc”. Dengan kata lain, pemohon menerima sistem seleksi hakim ad hoc Tipikor di MA yang dilakukan oleh KY. Pembentuk UU memiliki kewenangan untuk mengatur bagaimana rekrutmen hakim termasuk hakim ad hoc, dengan melihat kebutuhan di masyarakat dan tuntutan adanya kualitas, kapasitas, dan profesionalitas hakim yang harus memiliki standar yang terukur dan pasti sebagaimana yang sudah dilakukan oleh KY selama ini dalam melakukan seleksi calon hakim agung. 

 

Jika persoalannya, kewenangan KY tersebut tidak diatur secara tegas di dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, bukan berarti ketentuan tersebut menjadi ‘belenggu’ bagi pembentuk UU untuk mengaturnya. Cara pandang yang ‘terlalu sempit’ dalam batas-batas tertentu justru akan dapat menimbulkan ‘kemacetan atau kemandegan’ penyelenggaraan pemerintahan negara, pelayanan publik, atau pun penegakan hukum di masyarakat karena harus menunggu adanya amandemen UUD.

 

Akademisi Universitas Bina Nusantara Shidarta memberikan keterangan dalil pemohon yang menyatakan bahwa kewenangan KY untuk melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagai inkonstitusional adalah dalil yang tidak tepat. Hal ini karena KY memiliki kewenangan konstitusional untuk melakukan kewenangan itu, dan di sisi lain hak konstitusional pemohon tidak ada yang dirugikan atau dicederai. Hak yang diklaim sebagai “hak konstitusional pemohon” untuk mengajukan permohonan menjadi tidak layak diakui karena tidak punya “keseimbangan kepentingan” dengan kewenangan konstitusional KY. Jika tidak ada keseimbangan, maka akan terjadi radiating effect, yang menyebabkan kepentingan apapun dapat saja diklaim sebagai hak konstitusional. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait