Komisi Pengawas Bersama Dapat Cegah Perbuatan Merendahkan Kehormatan Hakim oleh Advokat
Ketua Dewan Kehormatan Peradi Semarang Dwi Saputra saat acara Diskusi dengan aparat penegak hukum dalam Upaya Pencegahan Perbuatan Anarkis di Persidangan dan Pengadilan, Kamis (30/9) di Semarang.

Semarang (Komisi Yudisial) – Ketua Dewan Kehormatan Peradi Semarang Dwi Saputra menjelaskan bahwa istilah perbuatan merendahkan kehormatan hakim mulai dikenal sejak 1987. Saat itu, seorang advokat senior Adnan Buyung Nasution (Alm) dikenai tuduhan contempt of court (penghinaan atas lembaga peradilan) di saat membela terdakwa kasus subversi HR Dharsono. 

 

Kesalahan yang ditimpakan kepadanya terjadi saat beliau berkacak pinggang dan menginterupsi ucapan hakim. Menteri Kehakiman menjatuhkan sanksi skors padanya selama satu tahun. Pada saat itu, pemberhentian advokat dilakukan oleh Menteri Kehakiman (dengan rekomendasi Mahkamah Agung). 

 

Namun sejak berlakunya UU Advokat, tentang pemberhentian advokat yang diduga melakukan perbuatan merendahkan pengadilan atau melanggar kode etik, dilakukan dengan keputusan Dewan Kehormatan Advokat serta diberitahukan kepada teradu dan pengadu yang bersangkutan.

 

“Akan tetapi, sampai saat ini belum ada advokat yang diberhentikan, walau sudah terbukti bersalah dan perkaranya berkekuatan hukum tetap,” ungkap Dwi.

 

Ia menyoroti bahwa salah satu akar masalah perbuatan merendahkan kehormatan hakim ialah para pencari peradilan yang tidak puas atas putusan persidangan. Bisa karena janji-janji yang sudah disepakati dan tidak diwujudkan atau sebaliknya ketika hakim tidak bisa “ditembus”, maka lalu dicari kelemahannya, misalnya dengan cara diteror, diancam, dan lain-lain. Pencegahan dari sisi advokat dapat dimulai dari pendidikan calon advokat, mereka harus dibekali supaya tidak melakukan hal-hal yang dapat merendahkan kehormatan hakim. Dengan jumlah personil yang mencapai ± 250.000 orang, tentu saja tidak menutup kemungkinan adanya gesekan sesama advokat, gesekan dengan para penegak hukum lainnya, yang pada akhirnya merugikan masyarakat.

 

“Untuk itu, sedari awal perlu upaya meningkatkan kualitas pendidikan advokat. Calon advokat harus digembleng untuk menjadi advokat yang memegang teguh profesinya agar menjadi pribadi yang matang,” ujar Dwi.

 

Sebagai pendamping hukum, advokat harus memberikan pemahaman kepada klien apa yang harus dilakukan. Advokat juga diberikan pemahaman agar tidak melakukan perbuatan merendahkan kehormatan hakim.

 

Banyaknya organisasi advokat itu sendiri menjadi faktor lain, yaitu “tidak efektifnya” mekanisme pengawasan karena tidak adanya Dewan Kehormatan Bersama antar organisasi advokat yang terdiri terdiri dari unsur advokat sendiri. Karena advokat sendirilah yang dianggap paling memahami dunia profesi advokat, maka penting untuk dibentuk Komisi Pengawas Bersama dan Dewan Kehormatan Bersama. Misalnya, ada kejadian seorang advokat yang sudah dijatuhkan sanksi oleh sebuah organisasi advokat, kemudian pindah ke organisasi advokat yang lain.  Tentu saja hal-hal seperti itu tidak diharapkan karena pada akhirnya akan merusak profesi advokat.

 

“Semua organisasi advokat, kode etiknya sama. Yang menjadi masalah, belum ada lembaga pengawas bersama. Harusnya ada satu yang disepakati bersama, sehingga sanksinya juga menjadi satu. Jadi menghindari peluang menghindari sanksi dengan berpindah ke organisasi lain,” tutup Dwi. (KY/Noer/Festy)


Berita Terkait