Jakarta (Komisi Yudisial) - Prasyarat bahwa hakim harus memiliki integritas sebenarnya bukan lagi sebagai sebuah konsep yang bersifat abstrak. Makna etik bahwa integritas sebagai suatu kepribadian yang utuh sudah dioperasionalkan dalam berbagai medium, baik dalam produk hukum maupun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
“Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, memang dimensi integritas masih sangat umum dan terkesan abstrak. Namun, terma yang sama juga dapat dilacak dalam berbagai produk hukum, mulai dari UUD 1945, UU Mahkamah Agung, dan UU Kekuasaan Kehakiman. Setiap ketentuan mengenai hakim, baik hakim agung maupun hakim pada pengadilan tingkat bawah, acapkali meletakkan integritas sebagai sebuah prasyarat," papar Binziad Kadafi, Anggota Komisi Yudisial (KY)/Komisioner Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian, dan Pengembangan.
Dalam Webinar yang diselenggarakan oleh DPC Peradi Surakarta dengan tema “Menakar Integritas Hakim Zaman Now” (Jumat, 10/9), Binziad Kadafi memaparkan secara detil dan operasional makna integritas hakim. Tujuannya agar para peserta, yang kebanyakan berlatar belakang advokat, memahami makna integritas hakim sekaligus apabila ditemukan pelanggaran perilaku dari hakim dapat menyalurkannya kepada KY.
“Di perbincangan internasional mengenai peradilan, makna integritas hakim ini juga selalu mengemuka. Baik sebagai prasyarat pengisian jabatan maupun pedoman perilaku hakim. Misalnya, dalam London Declaration of Judicial Ethics yang dirumuskan oleh European Network of Councils for the Judiciary (ENCJ), integritas diposisikan baik sebagai prinsip, nilai, dan kualitas hakim," terangnya.
Binziad melanjutkan, “Secara spesifik, prinsip integritas ini dituangkan dalam butir kelima Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Bahkan lengkapnya dinyatakan dengan prinsip berintegritas tinggi, yang turunannya di antaranya adalah terkait konflik kepentingan dan pembatasan diri. Prinsip yang sangat relevan dengan, misalnya, hakim adhoc tindak pidana korupsi yang berlatar belakang advokat”.
Ia menyatakan bahwa satu prinsip dengan prinsip lain dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) saling berkaitan. Dengan demikian, pelanggaran terhadap yang satu akan berdampak pada pelanggaran prinsip lain. Paparan kemudian berlanjut dengan mendetilkan prinsip-prinsip dalam KEPPH berikut ilustrasinya.
“Pada 2001, saya melakukan studi berupa survei yang kemudian dituangkan dalam sebuah buku berjudul “Advokat Mencari Legitimasi”. Dalam studi itu, diperoleh temuan bahwa salah satu hambatan dalam pelaksanaan tugas advokat bersumber dari hakim. Pertanyaannya, selama ini, setelah berbagai capaian reformasi peradilan berikut perkembangan ketatanegaraan dengan pendirian KY, apakah kondisinya masih sama? Kita bisa melihat berapa jumlah laporan masyarakat ke KY terkait dugaan pelanggaran perilaku hakim. Selain itu, tidak asing bagi kita beberapa waktu lalu, beberapa operasi tangkap tangan juga menjerat hakim," Binziad menutup paparannya dengan sebuah pertanyaan reflektif kepada para peserta.