Pangkal Pinang (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Mukti Fajar Nur Dewata dan Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi Amzulian Rifai melakukan media visit ke Kantor Redaksi Bangka Pos, pada Rabu (8/9). Kedatangan rombongan KY ini diterima langsung oleh Pemimpin Redaksi Bangka Pos, Ibnu Taufiq Juwariyanto. Kunjungan ini dalam rangka menjalin silaturahmi KY dengan media, yang merupakan salah satu mitra KY dalam menjalankan tugas dan wewenangnya.
Setelah melakukan pertemuan dan diskusi singkat, Mukti hadir sebagai narasumber dalam program Ruang Tengah yang merupakan salah satu program di kanal media sosial Bangka Pos.
Mukti ditanya soal apakah KY boleh melakukan pengawasan atau pemeriksaan terhadap putusan. Ini pertanyaan menarik bagi Mukti, karena sering ditanyakan oleh pers.
Menurut Mukti, di dalam sistem peradilan universal, ada kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang. Hakim merdeka tidak boleh diintervensi dalam proses peradilan. Jangankan KY, Mahkamah Agung (MA) juga tidak bisa melakukan intervensi. Putusan hanya bisa dianulir lewat putusan juga, lewat banding dan kasasi. Di dalam teorinya, lanjut Mukti, hakim adalah profesi yang mulia, pengadilan tidak boleh dirusuh. Namun kadang independensi hakim ini menjadi tempat berlindung ketika membuat kesalahan dalam membuat putusan.
“Jadi gimana? Banding, kasasi. Tapi dalam UU Kekuasaan Kehakiman, KY diberikan kekuasaan menganalisis putusan setelah inkracht. Jika ditemukan putusan anomali, tidak wajar, KY turun,” ujar Mukti.
Sampai hari ini kasus yang ditangani KY berasal dari laporan masyarakat, lalu kasus yang menjadi perhatian masyarakat misalnya laporan media. Jika proses persidangan masih berjalan, KY akan awasi. Selain itu, KY juga melakukan program peningkatan kapasitas hakim. KY mengingatkan bahwa seorang hakim ini bagian dari pembangunan negara hukum. Harus ada sense of crisis dari persoalan hukum. Hakim tidak hanya menjadi corong undang-undang, tapi ada juga keyakinan hakim yang yang menjadi dasar putusan. Misalnya adanya disparitas putusan dalam berbagai kasus, sehingga ada slogan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas.
“KY melakukan kerja sama dengan akademisi dan NGO dalam menyusun analisis putusan, untuk mengingatkan agar hal seperti ini tidak boleh terjadi terus,” beber Mukti.
Bagi Mukti sulit menjadi seorang hakim. Hakim di mana pun, diharapkan menjadi orang yang hidupnya harus menyendiri. Bahkan hakim sering disebut silent job. Karena dia harus menjaga martabat dengan tidak menjalin hubungan sembarangan dengan berbagai pihak.
“Jadi pemirsa, terutama mahasiswa hukum, yang ingin jadi hakim, harus bersiap. Repot jadi hakim, kalau tidak siap. Jadi kalau masih suka having fun, main-main, tidak usah jadi hakim,” kelakar Mukti.
Hakim orang yang harus menjaga diri. Benar sebagai manusia hakim makhluk sosial, tapi harus tetap menjaga diri. Misalnya hakim boleh main golf, tapi dengan sesama kolega. Namun jika main golf dengan bupati, maka akan menjadi objek pengawasan.
"Tapi kita sadari hakim makhluk sosial, tapi kita desain agar hakim tidak tergoda duniawi. Kita harapkan hakim sebagai seorang pengadilan bebas dari godaan duniawi,” pungkas Mukti. (KY/Noer/Festy)