Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) menyelenggarakan International Webinar “Global Trends In The Status and Roles of Judicial Assistans and Future Developments In Indonesia”, Senin (7/6). Diikuti kurang lebih 300-an peserta melalui aplikasi zoom dan kurang lebih 600 orang yang menyaksikan melalui streaming di kanal Youtube KY. Di antara peserta yang ikut adalah perwakilan dari para mitra strategis KY, seperti perwakilan kementerian/lembaga, kedutaan besar, lembaga donor, perguruan tinggi, dan lainnya.
Hadir sebagai narasumber dalam international webinar ini adalah penulis buku “The Collapse of the Supreme Court Institution" Sebastiaan Pompe, mantan Ketua Mahkamah Agung di Belanda Geert Corstens, Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung Takdir Rahmadi, akademisi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Ningrum Natasya Sirait, dan Ketua Bidang SDM, Advokasi, Hukum, Penelitian dan Pengembangan KY Binziad Kadafi.
Ketua KY Mukti Fajar Nur Dewata saat membuka kegiatan Webinar Internasional dalam sambutannya mengatakan, kebutuhan akan judicial assistants (JA) semakin besar dan terus bertransformasi mengikuti perkembangan dari dunia peradilan di Indonesia, serta mengingat kualitas dari putusan hakim sangat tergantung juga dari bobot perkara yang ditangani.
“Jumlah hakim di Indonesia sejauh ini ada sekitar 9.000-an tersebar di 650 pengadilan, jadi rata-rata ada sekitar 5 – 10 orang hakim di lembaga pengadilan, dan rata – rata 1 orang hakim menangani 500 - 1.000 perkara pertahunnya. Hal ini sangat berdampak dengan kinerja hakim,” ucap Mukti.
Mukti melanjutkan, berdasarkan data laporan tahunan MA bahwa terlihat rasio perbandingan antara hakim dengan perkara misalnya di pengadilan tingkat pertama 1:556, lalu di tingkat banding 1:30 dan di MA sendiri 1:451.
"Dilihat dari rasio ini nampak sangat berat tugas hakim," jelas Mukti.
Keberadaan Judicial Assistants di MA sejauh ini diisi oleh panitera dan panitera pengganti, tetapi sifatnya masih terbatas.
Mukti juga mengungkap bahwa KY sering menemukan kesalahan dalam putusan hakim, baik substansi maupun pengetikan, sehingga berdampak pada potensi dugaan pelanggaran kode etik hakim.
Dengan demikian, ia berharap melalui international webinar yang menghadirkan unsur profesional ini dapat memberi masukan dalam kaitannya KY mendorong kinerja hakim dan pengadilan sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya.
"Kami harap, setelah webinar ini peran JA semakin kuat dan JA sendiri ke depan dapat menjadi salah satu objek pengawasan KY. Di sisi lain, pengalaman kerja seorang JA akan memiliki nilai lebih bagi KY saat diusulkan menjadi hakim agung. Melalui webinar ini kita dapat mengulas kebutuhan, status, dan struktur peran JA hingga tugas – tugas sebagai JA sekaligus pengembangan pola karir dan pengawasannya," tandas Mukti. (KY/Adnan/Festy)