Jakarta (Komisi Yudisial) - Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menawarkan pentingnya kesadaran diri sebagai kunci perubahan mendasar bagi penegak hukum di Indonesia. “Panopticon” jiwa, yaitu sebuah model pendisiplinan yang dikenalkan M. Foucault. Konsep ini diterapkan oleh Jepang. Jaja melanjutkan, panopticon pada awalnya adalah konsep bangunan penjara yang dirancang oleh filsuf Inggris dan teoretisi sosial Jeremy Bentham pada 1785. Konsep desain penjara itu memungkinkan seorang pengawas untuk mengawasi (-opticon) semua (pan-) tahanan, tanpa tahanan itu bisa mengetahui apakah mereka sedang diamati.
"Pada perkembangannya, panopticon menjadi suatu model pengawasan dan pendisiplinan masyarakat, yang juga diterapkan sampai zaman sekarang. Konsep Panopcticon juga tentu saja mungkin untuk juga dipraktekan sebagai misi untuk membawa pengawasan yang efektif dalam mencegah perilaku koruptif," tegas Ketua KY Jaja Ahmad Jayus saat menjadi narasumber dalam Rapat Koordinasi Komisi Kejaksaan RI, Kamis (3/12) melalui aplikasi zoom.
Menurut Jaja, penting untuk melakukan upaya pemberantasan korupsi melalui peningkatan pengetahuan dan pemahaman, serta upaya gerakan budaya yang merupakan tindakan preventif untuk mencegah adanya perbuatan korupsi. Yang tidak kalah pentingnya, lanjut Jaja, bagaimana konsep ini dapat merubah paradigma yang sudah mengakar dalam kontruksi cara pandang dan berpikir dan berperilaku masyarakat Indonesia.
"Sudah saatnya kita membangun “panopticon jiwa” bagi penegak hukum Indonesia, yang dilandasi nilai-nilai luhur budaya kita, sehingga diharapkan terbentuk mentalitas/moralitas luhur penegak hukum.
Singkat kata dapat dikatakan panopticon jiwa adalah totalitas yang mengarahkan penegak hukum menuju kemampuan kreativitasnya," tambah Jaja.
Oleh karena itu, salah satu cara terpenting untuk mencegah dan atau mengurangi tindak pidana korupsi adalah melakukan reorientasi budaya, yaitu dari cara pandang masyarakat yang konkret-kontan ke cara pandang yang rasional-abstrak.
"Cara pandang ini penting, sehingga kebiasaan hidup berhati-hati, menjangkau ke masa depan lebih tertanam di masyarakat, yang pada akhirnya dapat mencegah perbuatan yang memerlukan dukungan dari kebiasaan hidup dengan pola pandang rasional-abstrak," pungkas Jaja. (KY/Festy)