Depok (Komisi Yudisial) – Materi kedua di hari terakhir (26/11) Workshop Jarak Jauh Peningkatan Kapasitas Hakim oleh Komisi Yudisial (KY) adalah “Perlindungan Data Pribadi dan Hak Untuk Dilupakan”. Dosen Hukum Bina Nusantara Bambang Pratama menjadi narasumber pada materi tersebut.
Dalam kesempatan tersebut Bambang banyak mendapatkan pertanyaan terkait keamanan data pribadi oleh para hakim peserta workshop. Bambang menjelaskan sebenarnya salah satu upaya perlindungan data masyarakat adalah menggunakan RUU Data Pribadi, yang sekarang masih mandek di DPR, dan belum mendapat perhatian lebih dari pembuat UU. RUU ini nantinya akan diselaraskan dengan UU Data Pribadi di berbagai negara seperti Amerika dan Eropa, seolah-olah menjadi satu kesatuan. Isinya akan mengatur semua permasalahan data pribadi di bawah negara yang sama. Sehingga jika ada permasalahan dengan data pribadi, jika UU kita terkoneksi dengan UU negara tempat aplikasi atau website pembocor data itu berada, maka bisa diterapkan hukum dari Indonesia sendiri. Saat ini kita bisa komplain jika data pribadi kita bocor. Tapi tidak bisa ditutup seluruhnya, hanya sebagian.
“Misal video di Youtube. Jika kita keberatan akan sebuah video, misal karena hak cipta atau membuat ketidaknyamanan, maka Youtube bisa men-suspend video tersebut sampai masalah selesai. Tapi bagaimana dengan media sosial lain seperti Twitter, Facebook, dan lain-lain? Lain lagi urusannya. Jadi persoalan perlindungan data pribadi itu bukan sekadar hitam atau putih,” beber Bambang.
Mengenai data kontak nomor pribadi, di Indonesia sangat tergantung kebijakan operator seluler. Konsumen sendiri yang harus melindungi data pribadinya. Misalnya kasus di Surabaya. Orang ini diteror nomor kontaknya, ganti nomor, malah rekeningnya yang dibobol. Bambang pernah menangani kasus di Polda Metro. Ada sekelompok orang yang sangat rajin mencari data kontak orang, di mana data pribadi di Indonesia itu gampang diakses. Nomor yang mereka temukan ini dikontak satu-satu. Ketika menemukan nomor yang sudah mati, nomor tersebut dibeli ke operator. Dari nomor tersebut data perbankan kita akan diakses, karena data perbankan menggunakan notifikasi dan klarifikasi nomor kontak.
“Dari situlah kewajiban pemegang data untuk melindungi data miliknya sendiri. Permasalahan ini belum ada obatnya, masih jadi PR. Data kita bisa diintai oleh pihak yang tidak bertanggung jawab,” ungkap Bambang.
Salah satu hakim meminta pandangan Bambang mengenai video pornografi yang untuk konsumsi publik dan pribadi. Konsumsi publik sudah jelas aturannya. Ada kasus di mana diduga artis membuat video berhubungan badan untuk konsumsi pribadi. Ternyata video tersebut bocor, tapi malah polisi mencari siapa orang yang ada di video tersebut, bukan pelaku penyebaran saja. Adakah hukum untuk melindungi mereka yang membuat konten pribadi yang bukan untuk kepentingan publik? Bambang menjawab bahwa kasus yang menjerat vokalis band sebelumnya menjadi koneksi hukum dari kasus yang terjadi pada artis tersebut. Harus diingat, video itu bisa direkayasa. Pernah terjadi kasus dimana video Obama yang sedang berpidato ternyata palsu, tapi penampilan, suara, dan mimiknya sama. Itulah tugas forensik untuk membuktikan.
"Terkait pemberitaan, artis mau memulihkan namanya. Tapi RTBF tidak berlaku bagi pers, hanya untuk kalangan non pers. Jadi berita suatu kejadian bisa terus ada, walaupun pelaku sesungguhnya berbeda. Rehalibitasi siber masih bermasalah sampai saat ini,” ujar Bambang. (KY/Noer/Festy)