KY Apresiasi DPR Kembali Usulkan RUU Jabatan Hakim Masuk Prolegnas Prioritas 2020
Anggota Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari mengapresiasi upaya DPR RI yang kembali mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Anggota Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari mengapresiasi upaya DPR RI yang kembali mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020. KY berharap DPR dapat segera menuntaskan pembahasan RUU Jabatan Hakim yang menempatkan hakim sebagai pejabat negara beserta konsekuensinya di tahun ini.
 
Hal Itu disampaikan Aidul saat menjadi narasumber diskusi daring bertema “Mendorong RUU Jabatan Hakim (JH) Untuk Perbaikan Manajemen Kekuasaan Kehakiman”, Rabu (9/9).
 
Menurut Aidul, pada masa orde baru, ada beberapa peraturan yang mengatur tentang hakim posisinya berada di dua kaki, Mahkamah Agung dan Kementerian Kehakiman. Dalam konteks peradilan, masalah kemandirian hakim banyak muncul akibat dari two roof system ini. Berdasarkan ketetapan MPR Nomor X/MPR/1998, kemudian diatur agar ada pemisahan fungsi eksekutif dan yudikatif. Maka muncul sistem satu atap, atau one roof system. Semua yang berkaitan dengan peradilan berada di bawah Mahkamah Agung. 
 
“Sesuai perjalanan waktu, hal tersebut juga mengalami pergeseran. KY mendorong konsep shared responsibility, pembagian kekuasaan dalam RUU Jabatan Hakim. Konsep ini bukan tanpa dasar, karena shared responsibility tersebar dalam  UUD NRI 1945, UU, dan Putusan MK. Hanya memang tidak dinamakan sebagai konsep shared responsibility,” papar Aidul.
 
Salah satu permasalahan yang disorot dalam RUU Jabatan Hakim adalah kedudukan hakim. Dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim adalah pejabat negara. Dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) juga sama. Dalam UU ASN diatur tentang perbedaan antara pejabat negara dan ASN. Pejabat negara diangkat melalui seleksi, pemilihan, atau penunjukan, ada masa jabatan tertentu, tanpa promosi dan penilaian kerja. Sedangkan ASN diangkat melalui proses rekrutmen, masa jabatan lebih lama, ada promosi dan penilaian kerja.  
 
“Problemnya hakim di Indonesia sistemnya seperti ASN. Hakim ini kualifikasinya sebagai pejabat negara apa? Dalam praktiknya, manajemen hakim terkait jenis hukumnya. Kita hukum sipil, namun dalam sistem hukum sipil hakim adalah ASN. Sistem hukum common law hakim adalah profesional. Jadi persoalan jika hakim pejabat negara namun sistem manajemen yang digunakan hakim karier, jadi menyimpang dari norma,” beber Aidul.
 
Permasalahan-permasalahan seperti itulah yang mendorong untuk disusunnya RUU Jabatan Hakim. Di dalam RUU ini mencoba membuat sistem manajemen hakim yang lebih tepat, sehingga akan melahirkan hakim yang memiliki integritas, profesional, akuntabel, dan menjamin kemandirian hakim bisa ditegakkan.
 
“Saya pernah baca dalam tulisan internasional, kemandirian hakim bisa dipengaruhi oleh lingkungan profesi hakim itu sendiri, bahkan oleh hakim senior. Apalagi dengan sistem hakim karier saat ini yang berlaku di Indonesia. Untuk itu, RUU Jabatan Hakim mencoba mencari solusi atas permasalah tersebut. Sejak saya masuk menjadi Anggota KY, kita sudah mendorong RUU JH ini. Saya lihat ini juga bersamaan masuk rencana prolegnas dengan RUU Perubahan KY. Semoga ini menjadi sinyal akan adanya perubahan peradilan Indonesia yang lebih baik,” harap Aidul. (KY/Noer/Festy)

Berita Terkait