Ketua KY Jaja Ahmad Jayus saat menjadi narasumber diskusi webinar "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial", Selasa, (12/5).
Jakarta (Komisi Yudisial) – Selain peluncuran buku Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial yang ditulis Anggota Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi dkk, KY juga menggelar diskusi webinar "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial". Hadir sebagai narasumber, yaitu Ketua KY Jaja Ahmad Jayus, Anggota DPR M. Nasir Djamil dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Suparman Marzuki, dengan moderator Peneliti Puskapkum Ferdian Andi, Selasa, (12/5).
KY, sesuai dengan amanat UUD, melakukan pengawasan dalam dua pengertian, yaitu mencegah dan menindak. Dalam pencegahan itu dilakukan melalui advokasi Hakim, pelatihan terkait kode etik, program deteksi dini, judicial education, dan lainnya. Terkait upaya yang sifatnya tindakan KY melakukan pemantauan, menerima, atau menemukan sendiri adanya dugaan pelanggaran kode etik.
Dalam faktanya, diungkapkan Jaja, memang laporan masyarakat ke KY dari tahun ke tahun menunjukkan angka fluktuatif seperti gelombang magnetik, termasuk dalam suasana covid-19 seperti sekarang ini. Sebelum pandemi, perbulannya berkisar 120 hingga 150 laporan yang diterima KY.
“Di suasana pandemi ini ternyata tidak ada satupun yang menurun drastis, bahkan kemarin saja ada 16 laporan langsung disampaikan melalui surat ke KY per kemarin Senin (11/5). Jadi laporan ke KY masih sangat tinggi. Di bulan April itu ada sekitar 83 laporan baik disampaikan langsung maupun melalui surat. Jadi laporan masyarakat ke KY itu masih sangat tinggi,” ujar Jaja.
Walaupun ada penurunan dibanding tahun kemarin, hingga April kemarin laporan yang masuk ke KY sudah mencapai 781 laporan. Diperkirakan untuk 6 bulan ke depan ada potensi jumlah laporan masyarakat ke KY dapat mencapai 1600-an laporan. .
“Artinya bahwa, walaupun KY telah melakukan tindakan pencegahan ternyata laporan masyarakat ke KY masih tinggi terkait adanya dugaan pelanggaran kode etik perilaku hakim,” ujar Jaja.
Jaja menggarisbawahi bahwa akar persoalan aspek profesionalisme dalam mayoritas isu laporan masyarakat yang tak puas ketika putusan jauh dari harapan.
Di negara-negara maju, Australia, Amerika misalnya, bila ada persoalan putusan hakim yang kurang baik, maka dikaitkan dengan kualitas profesionalitas hakim yang bersangkutan. Sementara di Indonesia, ketika muncul persoalan serupa, persoalan-persoalan etik dari masing-masing aparat hukum atau masyarakat yang berperkara itu sendiri yang dikaitkan.
Ada problem hukum acara, yaitu perbedaan pandangan antara MA-KY, khususnya isu teknis yudisial seringkali muncul ke permukaan. “Apabila itu murni pandangan hakim terhadap objek atau berkas perkara di pengadilan, katakanlah terkait pandangan hakim terhadap kualitas alat bukti, pandangan terhadap hukum dalam peristiwa konkrit, maka itu adalah murni kemerdekaan hakim yang bersangkutan. Tetapi kadangkala yang terjadi tidak sekedar disparitas dalam masyarakat, namun lebih kepada gap dalam hal penilaian terhadap suatu perkara dengan norma-norma yang mesti diterapkan oleh hakim yang bersangkutan.
“Problem yang seringkali saya jumpai dalam hukum acara itu bukan sekadar disparitas melainkan gap,” tutur Jaja. Disparitas, lanjut Jaja, di negara maju pun masih kerap terjadi. Namun inilah yang terjadi di pengadilan di negara kita, terjadi gap antara fakta hukum yang satu dengan yang lain terhadap satu norma yang sama. Padahal, fakta hukumnya itu tidak jauh beda atau hampir sama. Mestinya jika demikian, implementasi dari norma-norma itu juga harus sama.
Karena masih saja terjadi problem-problem hukum acara bahkan dalam suasana pandemi memunculkan berbagai persoalan terkait ketentuan normatifnya. Dalam hukum acara pidana misalnya, seorang terdakwa dihadapkan secara virtual di muka persidangan. Juga dalam hukum acara, mengenai penilaian alat bukti tertulis yang harus dicocokkan secara virtual. Hal ini dapat menimbulkan problem-problem penegakan hukum acara. Selama itu problem hukum acara tentunya itu murni hukum acara atau murni substansi hukum itu mekanismenya adalah banding, kasasi.
“Saya membaca dari buku yang ditulis Pak Farid, dkk, bagaimana proses penegakan kode etik yang dilakukan oleh KY. Artinya apa yang dilakukan oleh KY jangan sampai muncul dalam proses penegakan hukum itu ada problem penegakan etiknya juga. Karena itu harus ada alat bukti yang jelas, didukung fakta yang betul-betul terdapat pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim itu sendiri,” tandas Jaja. (KY/Yuni/Festy)