Ketua KY Sambut Positif Peluncuran Buku Pengawasan Hakim
Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menyambut positif terhadap buku terbaru Anggota KY Farid Wajdi dkk yang berjudul "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial", Selasa (12/5) yang diluncurkan secara online.

Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus menyambut positif terhadap buku terbaru Anggota KY Farid Wajdi dkk yang berjudul "Pengawasan Hakim dan Penegakan Kode Etik di Komisi Yudisial", Selasa (12/5) yang diluncurkan secara online.
 
Jaja berharap melalui buku ini pembaca akan diajak lebih komprehensif menilai bagaimana proses penegakan etik yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. 
 
“Saya menyambut positif, dan oleh karena itu buku ini dapat menjadi pegangan bagi semua masyarakat yang memiliki perhatian terkait penegakan etik, khususnya yang dilakukan oleh KY,” urai Jaja. 
 
Menurut Jaja, ada pandangan-pandangan terkait irisan antara hukum acara dan teknis yudisial yang diangkat oleh penulis buku. Jaja mengatakan, “Buku yang ditulis oleh penulis Farid Wajdi, Imran, dan Muh. Ilham Hasanuddin ini melakukan pendekatan dengan tiga aspek dalam penegakan hukum, yaitu dari sisi aspek substansi, struktur, dan budaya etik".
 
Terkait isu tersebut, Jaja menyorot sisi budaya etik pendekatan hukum materil. Jaja menjelaskan dari pendekatan ini memang dianut beberapa negara Asia, dan dalam sistem itu antara lain ada yang dinamakan traditional law.
Budaya, jelas Jaja, adalah sumber utama daripada suatu proses agar penegakan etik itu dapat berjalan maksimal. Karena kata kuncinya dalam suatu sistem hukum adalah etik. Apabila etik dari struktur hukum itu baik, maka semuanya akan berjalan dengan baik. 
 
Lebih lanjut Jaja menuturkan sebagai amanat UUD 1945, KY tentunya secara khusus memberikan perhatian terhadap penegakan etik ini karena apabila perilaku dan nilai-nilai etik hakim dan aparat penegak hukum lainnya  dijunjung tinggi, maka berbagai problem penegakan hukum di Indonesia akan teratasi. 
 
“Kalau itu clear semua, maka tidak akan memancing keluhan-keluahan terkait perilaku etik para APH,” tutur pria asal Kuningan ini.
 
Oleh karena itu, budaya etik harus didorong, tidak hanya saja untuk hakim, akan tetapi terhadap semua stakeholder peradilan. 
 
“Memang menyambut budaya etik itu memerlukan perjalanan yang cukup panjang untuk suatu perubahan. Padahal inti budaya berkaitan dengan etik itu adalah akhlak. Kalau akhlak hakimnya baik, akhlak jaksa baik, pengacaranya baik, masyarakat yang berperkara dan pencari keadilanpun berakhlak baik, maka semuanya juga akan berjalan dengan baik,” imbuh Jaja. (KY/Yuni/Festy)

Berita Terkait