Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "RUU Jabatan Hakim: Komitmen Menata Akuntabilitas Peradilan di Indonesia" di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/3).
Jakarta (Komisi Yudisial) – Ketua Bidang Rekrutmen Hakim Komisi Yudisial (KY) Aidul Fitriciada Azhari membandingkan proses seleksi calon hakim agung di Indonesia dengan berbagai negara. Menurutnya, seleksi hakim agung di Indonesia lebih baik, ketimbang di Ukraina, Korea Selatan, dan Jepang.
Lanjut Aidul, hakim agung di Ukraina memiliki periodesasi. Setelah lima tahun, para Hakim agung ini akan di-review oleh DPR. Di Korea Selatan dan Jepang juga hampir mirip sistemnya.
“Jadi Indonesia masih lebih baik, karena ada KY yang melakukan rekrutmen awal untuk disetujui oleh DPR,” ujar Aidul saat menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "RUU Jabatan Hakim: Komitmen Menata Akuntabilitas Peradilan di Indonesia" di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (12/3).
Polemik kedudukan hakim sebagai pejabat negara juga masih menjadi polemik. Untuk itulah KY mewacanakan konsep shared responsibility dalam RUU Jabatan Hakim.
Usulan KY terdiri dari aspek pengelolaan penilaian profesionalisme, promosi mutasi, rekrutmen hakim, dan pengawasan Perilaku Hakim.
Dalam melakukan penilaian hakim agung, maka dilaksanakan oleh KY untuk disulkan kembali ke DPR sebagai pihak pengusul awal.
Persetujuan oleh DPR untuk perpanjangan masa jabatan lima tahun berikutnya. Sementara untuk Hakim Tinggi dan pertama, maka melalui Pansel di mana KY sebagai salah satu unsurnya.
"Dalam aspek promosi mutasi, KY terlibat sebagai pengawas di mana proses dilaksanakan oleh MA. Sementara aspek rekrutmen hakim, KY terlibat sebagai pengawas yang kemudian dilaksanakan oleh pansel.
“Terakhir dalam bidang pengawasan perilaku hakim, KY mengusulkan dilakukan sepenuhnya oleh KY dengan kewenangan eksekutorial,” tutup Aidul. (KY/Noer/Festy)