Praktisi dan Akademisi Harap Hakim Jangan Abaikan Yurisprudensi
Seminar dan Diskusi Internalisasi Program Karakterisasi Putusan: Mainstreaming Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum, Jumat (21/2) di Ruang Sidang Semu Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.

Malang (Komisi Yudisial) - Yurisprudensi menjadi sumber hukum yang penting bagi hakim. Fungsinya bisa mengisi kekosongan hukum sampai terciptanya peraturan yang lengkap dan baku. Bahkan pengacara, hakim, jaksa, dan kalangan akademisi di tahun 1950an memberikan perhatian yang besar terhadap yurisprudensi.
 
"Saya selalu menggunakan yurisprudensi di persidangan. Namun, yurisprudensi ini tidak selalu diikuti oleh para hakim. Saat ini yurisprudensi kurang mendapatkan perhatian oleh para hakim," keluh praktisi hukum Soehartono Soemarto saat menjadi pembicara Seminar dan Diskusi Internalisasi Program Karakterisasi Putusan: Mainstreaming Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum, Jumat (21/2) di Ruang Sidang Semu Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur.
 
Padahal, Soehartono melanjutkan, yurisprudensi masuk dalam sumber hukum formal di Indonesia. Ia menyebut secara berurutan, yaitu undang-undang, kebiasaan/hukum tidak tertulis, yurisprudensi, perjanjian antar negara/traktak dan doktrin.
 
Ia juga menjelaskan, putusan dapat dikatakan sebagai yurisprudensi apabila memiliki lima unsur pokok yang ditetapkan 
Badan Pembinaan Hukum Nasonal (BPHN). Pertama, keputusan atas sesuatu peristiwa yang belum jelas pengaturan perundang-undangannya. Kedua, keputusan itu merupakan keputusan tetap. 
 
"Telah berulang kali diputus dengan keputusan yang sama dan dalam kasus yang sama, memiliki rasa keadilan, dan keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung," urai Soehartono.
 
"Saya meminta agar KY dapat mendorong hakim agar menggunakan Yurisprudensi yg mencerminkan hukum progresif," harap Soehartono.
 
Senada dengan Soehartono, Wakil Rektor III UMM Sidik Sunaryo. Sidik berpendapat minimnya hakim yang menggunakan yurisprudensi sebagai sumber hukum karena perbedaan pengalaman dengan para hakim terdahulu.
 
"Bila di negara maju, tidak mudah menjadi hakim karena harus profesional dan berpengalaman. Setelah itu, mereka baru boleh mendaftar. Sementara di Indonesia fresh graduate saja boleh untuk mendaftar menjadi hakim," jelas Sidik.
 
Bahkan, saat ini banyak putusan hakim yang disebutnya tidak berkualiatas. Ia mencontohkan, ada putusan yang tidak menyebutkan pasal dan ayat, hanya UU saja.
 
"Yurisprudensi bisa menjadi sumber hukum dalam putusan hakim di Indonesia, untuk menjamin kepastian hukum yang adil," pungkasnya. (KY/Festy/Jaya)

Berita Terkait