Refly Harun dalam pemaparannya pada Seminar Nasional kerjasama KY dengan Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) bertema Pemilu dan Integritas Hakim di Auditorium MR. R.M. Soemantri, Kampus Unitomo Surabaya, Kamis (7/11).
Surabaya (Komisi Yudisial) – Meskipun Indonesia telah hampir dua puluh tahun menjalani era Reformasi, sejauh ini desain sistem dan hukum pemilu di Indonesia masih belum disusun secara komprehensif dan koheren untuk berlaku dalam jangka panjang. Mereformasi mekanisme penyelesaian pelanggaran dan sengketa proses dan hasil pemilu ditawarkan sebagai solusi persoalan oleh Pakar Hukum Tata Negara dan pengamat politik Refly Harun dalam pemaparannya pada Seminar Nasional kerjasama KY dengan Universitas Dr. Soetomo (Unitomo) bertema Pemilu dan Integritas Hakim di Auditorium MR. R.M. Soemantri, Kampus Unitomo Surabaya, Kamis (7/11).
Refly menggagas untuk mentrasformasikan Bawaslu dan Bawaslu provinsi sebagai tonggak penyelesaian sengketa dan pelanggaran selama proses pemilu selain pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, tindak pidana pemilu, dan sengketa hasil pemilu. Dengan ini, Bawaslu dan Bawaslu provinsi tidak lagi ditempatkan sebagai badan pengawas pemilu, melainkan badan peradilan khusus pemilu.
Langkah selanjutnya menurut Refly adalah merekonstruksi kedudukan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan khusus pemilu. MK, jelas Refly, akan memiliki kewenangan memeriksa dan mengadili hal-hal substansial yang terkait dengan konstitusionalitas penyelenggaraan pemilu.
Selain itu, terkait penyelesaian perkara pemilu yang diproses di pengadilan, Refly juga menegaskan kedudukan istimewa hakim sebagai wakil Tuhan dan perlunya membangun sistem peradilan yang berintegritas.
“Asumsinya adalah hakim adalah wakil Tuhan di dunia, satu derajat sedikit di bawah rasul. Karena itulah hakim menjadi orang yg adil dan harus menjaga keluhuran martabatnya. Misalnya saja hakim tidak diperkenankan menghadiri pernikahan misalnya pengacara. Namun karena hakim juga manusia, maka harus dijaga keluhuran martabatnya, peilakunya, Makanya hakim tidak boleh main golf, karaoke, atau datang ke perkawinan pengacara,” papar pria kelahiran Palembang ini.
Akan tetapi Refly menuturkan bahwa hakim tetaplah seorang manusia, sehingga cenderung menyimpang, maka dari situlah letak peran KY. Refly menyiratkan dukungan akan pentingnya peranan KY untuk membangun sistem untuk memperbaiki kekuasaan kehakiman di Indonesia.
“Kuncinya bukan pada pengawasan, tapi dengan membangun sistem yang berintegritas,” pungkas Refly.
Selain Refly, Dosen FH Universitas Negeri Gorontalo Duke Ari Widagdo, Aktivis Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil, dan Siti Marwiyah Wakil Rektor I Unitomo sebagai moderator. (KY/Yuni/Festy)