Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus kepada 175 calon hakim (cakim) peserta Diklat 3 Program PPC Terpadu Angkatan III Lingkungan Badan Peradilan Agama Gelombang II, Kamis (10/10) di Auditorium Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, Megamendung, Jawa Barat.
Megamendung (Komisi Yudisial) – Kehati-hatian, ketelitian, dan ketepatan merupakan cara pandang abstrak yang tergolong dalam prinsip profesionalisme. Prinsip etik tersebut harus dijunjung tinggi dan ditanamkan dalam diri seorang hakim.
Demikian ditegaskan Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus kepada 175 calon hakim (cakim) peserta Diklat 3 Program PPC Terpadu Angkatan III Lingkungan Badan Peradilan Agama Gelombang II, Kamis (10/10) di Auditorium Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, Megamendung, Jawa Barat.
Menurut Jaja, di dalam undang-undang (UU) ada banyak norma-norma hukum yang lahir dari struktur berpikir yang abstrak sehingga harus disikapi dengan cara berpikir yang sama
dengan jangkauan berpikir jauh ke depan. Misalnya dalam menangani perkara lingkungan hidup.
“Pengusaha-pengusaha membakar lahan hutan kemudian ditanami sawit misalnya. Bahkan ada putusan pengadilan mengatakan kebakaran hutan tidak merugikan karena sudah ditanami kembali. Kalau ada bunyi putusan hakim demikian, maka putusan tersebut tidak abstrak. Artinya, hakim tidak memahami UU tentang Lingkungan Hidup,” beber Jaja.
Bangsa Indonesia, lanjut Jaja, memiliki problem terkait cara pandang yang konkret kontan yang cenderung menimbulkan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan. “Saya kan punya kekuasaan, saya ketua pengadilan, saya bupati, saya gubernur, teken, teken saja! Padahal ada yang salah,” urai Jaja.
Jaja menekankan bahwa seorang hakim harus memiliki cara pandang yang tidak hanya konkret, tapi dengan pola pikir abstrak. “Periksa dengan teliti berkas, saksi, serta alat bukti kemudian dicocokkan satu sama lain, apakah ada kesesuaian. Berdisiplin tinggi dan profesionalisme menjadi prinsip dasar etik bagi apapun profesinya,” tegas Jaja.
Selain itu, Jaja juga menyinggung wawasan sebagai salah satu syarat yang harus dimiliki dalam semua profesi, baik hakim, jaksa, notaris, advokat, dan sebagainya. Ketika menjadi hakim, pengetahuan fundamental harus dimiliki.
“Seorang hakim dalam memutus suatu perkara itu harus berdasarkan ilmu pengetahuan. Artinya, hakim harus berwawasan,” ujarnya.
Lebih lanjut Jaja menjelaskan, dalam prinsip dasar profesi lainnya terdapat satu prinsip yang harus dibangun secara positif yang dinamakan Esprit de corps atau dengan kata lain, semangat kesatuan. Esprit de corps positif menurut Jaja akan melahirkan suatu asas bahwa setiap putusan hakim yang sudah diputuskan tidak boleh dikomentari oleh hakim itu sendiri maupun oleh corps hakim yang lainnya.
“Biarkan masyarakat membaca putusan itu apa adanya. Kalau ditanya, silahkan baca. Tidak boleh hakim yang lainnya mengatakan: wah, itu memang putusan teman saya itu kurang bagus, itu teorinya kurang, perundang-undangan yang diterapkannya kurang. Itu tidak diperkenankan,” tegas Jaja.
Oleh sebab itu, haruslah dibangun semangat kesatuan antar rekan hakim. Di dalam kode etik, hakim dilarang mengomentari putusan yang dibuatnya, dan putusan hakim yang lain. Hakim harus menyelaraskan sikap dengan menjaga keutuhan semangat kesatuan tersebut secara positif.
Kepada para peserta yang kelak berprofesi sebagai hakim, Jaja mengimbau untuk menekankan prinsip etik hakim yang telah tertuang dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Jaja tegaskan hakim dapat dijatuhi nonpalu karena melanggar prinsip-prinsip kode etik. Seandainya para hakim sudah menanamkan prinsip-prinsip tersebut, kepercayaan publik terhadap hakim pun akan terjaga. (KY/Yuni/Festy)