Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi pada Diskusi dan Bedah Buku “Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia” di Gedung MKn Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Jumat (4/10).
Mataram (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) sebagai penyangga dan penyeimbang kekuasaan kehakiman diharapkan memiliki wewenang strategis dalam beberapa aspek. Penguatan mengenai kedudukan KY yang tidak hanya sebagai penunjang (auxilarry), tetapi juga organ utama (main organ) yang diposisikan sebagai penyeimbang kekuasaan kehakiman.
Hal tersebut disampaikan Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY Farid Wajdi pada Diskusi dan Bedah Buku “Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia” di Gedung MKn Fakultas Hukum Universitas Mataram (Unram), Jumat (4/10).
Dalam paparannya yang berjudul Penguatan Komisi Yudisial dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Farid menjelaskan tentang dinamika KY dalam menjalankan wewenang dan tugasnya.
“UU KY telah mengalami judicial review. Misalnya dalam proses seleksi hakim tingkat pertama menjadi kewenangan tunggal Mahkamah Agung, tanpa melibatkan KY,” jelas mantan Dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ini.
Farid mengatakan, KY seperti mempunyai kewenangan tetapi tidak memiliki kekuasaan. Permasalahan yang sekarang dialami oleh KY karena kewenangan tersebut tidak bersifat otoritatif.
“Artinya, kewenangan KY bersifat tidak otoritatif. Misalnya, penjatuhan sanksi hanya bersifat rekomendasi, bukan eksekutorial,” ujar Farid.
Sebagai penyeimbang, KY idealnya memiliki kewenangan yang bersifat otoritatif. KY yang ideal mestinya diberikan otoritas penuh untuk menjalankan wewenang yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
Pelaksanaan kewenangan pengawasan yang dilakukan KY dibingkai pada pelanggaran perilaku hakim yang hasilnya berupa suatu usulan penjatuhan sanksi kepada MA atau Majelis Kehormatan Hakim (MKH).
“Sanksi KY terkait sanksi etik. Hal ini terkait atau berpengaruh dalam peradaban hukum,” ucap pria kelahiran Silaping Sumatera Barat ini.
Untuk itu, menurut Farid diperlukan penanaman etika, bukan hanya peraturan hukum.
“Semakin banyak peraturan itu menandakan semakin jauh dari peradaban. Kita tidak hanya penting belajar tentang norma hukum, tetapi penting untuk menerapkan etika,” ujarnya. (KY/Jaya/Festy)