Semarang (Komisi Yudisial) – Hakim diharuskan memahami soal etika berkomunikasi saat memeriksa dan memutus perkara perempuan berhadapan dengan hukum (PBH). Prinsip-prinsip yang harus diterapkan antara lain: penghargaan atas harkat dan martabat manusia, nondiskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
"Hakim harus mengidentifikasi situasi perlakuan yang tidak setara yang mengakibatkan diskriminasi terhadap perempuan dan menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan,” ungkap Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Albertina Ho saat menjadi narasumber dalam pelatihan tematik untuk hakim berjudul "Perempuan Berhadapan dengan Hukum”, Kamis, (8/8/2024) di Semarang, Jawa Tengah.
Lanjut Albertina, hakim juga harus mengidentifikasi dan mempertimbangkan relasi kuasa antara para pihak yang mengakibatkan korban/saksi tidak berdaya. Selain itu juga harus mengidentifikasi dan mempertimbangkan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban/saksi.
"Hakim juga dapat mempertimbangkan dampak psikis serta ketidakberdayaan fisik maupun psikis yang dialami PBH dengan menyarankan para pihak untuk menghadirkan alat bukti lain, seperti surat keterangan psikologi atau visum et repertum," tutur Albertina.
Hal penting lainnya bahwa hakim harus mencegah atau bahkan menegur para pihak yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas PBH. Hakim juga dapat mengabulkan permintaan menghadirkan pendamping.
“Dalam menggali, hakim dapat bertanya tentang seksualitas korban untuk memahami situasi secara komprehensif bukan untuk menyalahkan atau membela pelaku,” pungkas Albertina. (KY/Eka Putra/Festy)