Jakarta (Komisi Yudisial) - Calon Hakim Agung (CHA) ketiga yang mendapat kesempatan untuk diwawancara pada hari ketiga, Kamis (5/8) adalah dosen pada Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak Hermansyah.
Hermansyah menyatakan salah satu komitmen yang akan diupayakan jika menjadi hakim agung adalah dalam mambuat keputusan legal reasoning menjadi lebih penting. Karena di situlah yang menjadi dasar pertimbangan-pertimbangan para hakim dalam memutus suatu perkara. Para pencari keadilan juga menjadi tahu, sebenarnya mengapa hakim memutus seperti ini, apa yang menjadi landasan filosofisnya, apa yang menjadi argumentasi hukumnya, sehingga mengarah menjadi putusan.
“Dan itu menjadi sangat penting, mengingat putusan hakim agung itu sendiri kalau menurut saya bukan hanya dapat menyelesaikan ke pokok perkara saja. Tapi harusnya juga bisa memberikan pembaharuan dalam bidang hukum,” buka Hermansyah.
Motivasi Hermansyah menjadi hakim agung, pertama melihat berbagai macam dinamika dalam masyarakat terkait dengan berbagai macam putusan yang dikeluarkan oleh lembaga pengadilan. Dirasakan oleh masyarakat berbagai macam persoalan tersebut belum mencerminkan rasa keadilan. Oleh karena itu salah satu motivasi Hermansyah, bagaimana menghasilkan putusan-putusan pengadilan yang tidak hanya memiliki dimensi kepastian dan keadilan, tetapi juga bagaimana putusan tersebut memberi kemanfaatan bagi para pencari keadilan itu sendiri.
Salah satu caranya, Hermansyah melihat problema terbesar di Mahkamah Agung (MA) adalah sering lambannya keluar minutasi dari hakim itu sendiri. Sementara itu penumpukan perkara, Hermansyah melihat di laporan MA tahun 2020 sudah cukup bagus, penyelesaian perkaranya sudah hampir 90 persen. Tetapi minutasinya, salinan putusan aslinya, yang masih mengalami keterlambatan.
“Oleh karena itu, jika saya terpilih ini nantinya akan menjadi perhatian saya. Artinya ketika putusan itu dibuat, harus ditindaklanjuti dengan segera minutasinya. Karena minutasi inilah nanti para pencari keadilan melihat sesungguhnya apa yang menjadi legal reasoning, sehingga hakim memberikan putusan sesuai amar putusan,” ujar Hermansyah.
Hermansyah juga ditanyakan pengalamannya sebagai saksi ahli dalam proses pemeriksaan. Hermansyah tidak pernah menjadi saksi ahli di hadapan persidangan. Hermansyah hanya dimintai dari pihak kepolisian, secara tertulis dalam proses penyidikan, memberikan keterangan ahli. Hampir semua kasus korupsi yang ada itu dalam perspektif hukum pidana pelakunya bersalah. Jika Hermansyah hadir ke depan persidangan, apalagi seandainya berada di pihak terdakwa, akan terjadi konflik kepentingan, karena terdakwa berharap untuk bisa memberikan keterangan-keterangan ataupun penjelasan yang bisa meringankan.
“Tidak mungkin saya mencederai keilmuan saya sendiri, itu satu. Kedua, oleh penuntut umum jarang sekali, bahkan tidak pernah dihadirkan ke hadapan pengadilan, karena menurut mereka keterangan yang saya berikan secara tertulis sudah dianggap jelas. Sehingga cukup dibacakan saja di hadapan pengadilan,” beber Hermansyah. (KY/Noer/Festy)