Jakarta (Komisi Yudisial) - Hari ketiga, Kamis (5/8), lima orang Calon Hakim Agung (CHA) untuk Kamar Pidana mengikuti Seleksi Wawancara di Auditorium Komisi Yudisial (KY), Jakarta. Adapun panelis negarawanan adalah Anggota Dewan Perwakilan Daerah Jimly Asshiddiqie dan panelis mantan hakim agung Parman Soeparman. CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah Achmad Setyo Pudjoharsoyo, Ketua Pengadilan Tinggi Kendari.
Setyo ditanyakan mengapa banyak masyarakat yang melakukan upaya hukum, padahal sudah dibatasi dan diperketat syaratnya oleh Mahkamah Agung (MA). Banyaknya upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali (PK) menurut Setyo, pertama, tidak lepas dari budaya hukum Indonesia itu sendiri. Persoalannya bukan menang atau kalah, namun ada masyarakat tertentu yang menunda-nunda penyelesaian perkara itu dengan tujuan untuk mengulur-ngulur waktu pemidanaan. Kedua, memang banyak yang berupaya mencari kebenaran dengan mengupayakan upaya hukum dari tingkat pertama, banding, kasasi, kalau perlu PK. Lalu kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan itu sendiri.
“Di tingkat pertama dia belum percaya, mungkin ada sesuatu di putusan ini. Dia akan terus terus berupaya. Berdasarkan data, dari 100 persen upaya hukum kasasi dan PK, hanya 15 persen yang dikabulkan,” beber Setyo.
Tidak salah tolak ukur kepercayaan masyarakat rendah terhadap putusan peradilan, karena terkait dengan kualitas putusan itu sendiri. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena ada putusan-putusan yang tidak konsisten.
“Untuk itu jika menjadi hakim agung, saya akan membaca dengan teliti putusan yang masuk. Karena kalau cuma membaca sekadarnya yang penting selesainya cepat, maka akan menurunkan kualitas. Saya akan tunjukkan dengan mempelajari lebih detail suatu perkara, sebagaimana yang saya lakukan di dalam menyelesaikan perkara tingkat pertama dan banding,” ujar Setyo.
Sebenarnya PK yang berkali-kali akan menimbulkan ketidakpastian hukum itu sendiri. Sehingga sudah tepat MA melalui rapat pleno, sudah memberikan batasan kapan PK itu bisa diajukan. Tetapi kalaupun lebih dari satu kali, syaratnya sudah ditentukan sedemikian rupa. Hanya saja selalu dicoba oleh pencari keadilan untuk mengupayakan bagaimana bisa terus dilakukan PK. Ini sering terjadi. Bahkan perdebatan sering muncul di tingkat pertama, ketika permohonan PK diajukan untuk yang lebih dari satu kali.
“Selalu bertengkar di situ, antara pencari keadilan melalui kuasa hukumnya atau langsung, merasa dihambat untuk melakukan upaya hukum. Ributnya pencari keadilan bukan dengan hakim, tapi dengan petugas administrasi perkara. Karena sudah ada ketentuan, apabila sudah tidak memenuhi syarat formal, berkas perkara tidak akan dikirim untuk PK,” pungkas Setyo. (KY/Noer/Festy)