Jakarta (Komisi Yudisial) - Komisi Yudisial (KY) menggelar wawancara terbuka calon hakim agung (CHA)!selama lima hari, Selasa -Sabtu, 3 - 7 Agustus 2021 di Auditorium KY, Jakarta. Memasuki hari pertama, Selasa (3/8), lima orang CHA dari kamar Pidana mengikuti Seleksi Wawancara. Adapun panelis negarawan adalah Guru Besar Universitas Indonesia dan Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmawanto Juwana dan mantan hakim agung adalah H. Parman Soeparman.
CHA pertama yang mendapat kesempatan untuk diwawancara adalah hakim tinggi yang menjabat Inspektur Wilayah I Badan Pengawasan MA Aviantara. Calon ditanya mengenai kecenderungan sunat pidana putusan korupsi di tingkat banding pada saat ini yang mencederai rasa keadilan di masyarakat. Aviantara menjawab bahwa sebagai hakim tidak boleh mengomentari atau intervensi perkara hakim yang lain. Pengurangan atau penambahan pidana dapat terjadi dari hasil pemeriksaan di persidangan.
“Hakim dalam memutus harus sesuai etika profesi hakim. Sehingga apapun putusannya dari segi legal justice, moral justice, dan social justice dapat dipertanggungjawabkan,” tegas Aviantara.
Aviantara lalu ditanya pengalaman melakukan dissenting opinion yang paling berkesan. Aviantara menjawab bahwa ia pernah menangani perkara korupsi pengadaan minyak. Putusan yang dijatuhkan melakukan pelanggaran Pasal 3 UU Tipikor, sehingga pidananya rendah. Aviantara merasa harusnya dikenakan Pasal 2, karena kasus berat. Karena ada pertemuan di luar negeri yang tidak mungkin kebetulan, dan ada aliran dana masuk paling tidak ke anak buah pelaku.
“Menurut saya itu perbuatan perbuatan yang berat, fakta hukumnya ada kerugian negara. Namun yang diputus ternyata Pasal 3, dan jaksa tidak banding. Saya yakin harusnya kena Pasal 2 karena kerugian negaranya besar,” ujar Aviantara.
Oleh karenanya Aviantara menganggap pentingnya dissenting opinion ada dimuat dalam putusan. Karena dissenting opinion tersebut dapat digunakan sebagai bahan untuk di tingkat berikutnya dalam persidangan bagi hakim dan penasihat hukum, bahkan yurisprudensi.
“Dengan begitu hakim lain dapat menjadikannya pedoman dalam mencarai keadilan. Bagi akademisi bisa menggunakannya sebagai bahan penelitian putusan, dengan melihat pertimbangan hukumnya seperti apa,” kata Aviantara. (KY/Noer/Festy)