Medan (Komisi Yudisial) – Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Abdul Hakim Siagian membeberkan permasalahan dalam seleksi calon hakim agung (CHA) hingga saat ini. Dalam pemaparan berjudul “Kerjasama Potensial Mahkamah Agung, Komisi Yudisial dan Perguruan Tinggi dalam Seleksi Hakim Agung”, setidaknya ada beberapa permasalahan yang ditemukan Abdul, baik berdasarkan penuturan CHA yang tidak lulus, maupun analisis pribadi.
Proses seleksi CHA yang ‘pelik’ dilakukan oleh Komisi Yudisial (KY) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan standar sikap DPR terhadap CHA yang diajukan KY terkesan ‘politis’. Hal ini menimbulkan kesan apabila tidak memiliki link politis, maka akan sulit bagi CHA untuk disetujui oleh DPR. Partisipasi akademisi begitu sedikit sebab seleksi yang rumit kriteria CHA yang imparsial, kompeten, berkapabilitas dan berintegritas.
“Sulit untuk mencari CHA yang imparsial. Karena di masa sekarang ini, sulit untuk menemukan akademisi yang tidak berpihak, kompeten juga. Apakah jika banyak tidak meluluskan mahasiswa, dosen tersebut dianggap tidak kompeten? Berintegritas, standarnya seperti apa? Sifat tersebut dinilai multitafsir dan bak mencari jarum dalam tumpukan jerami. Karena sudah susah payah dites di KY, ditolak semuanya di DPR,” beber Abdul.
Permasalahan lain yang ditemukan adanya perbedaan status hakim PN, PT, dan MA yang masih tidak seragam terutama bila menyangkut hak dan kewajiban, imbas dari RUU Jabatan Hakim yang tidak kunjung disahkan.
Sedangkan putusan hakim agung tidak sedikit yang tidak menunjukkan derajat yang ‘tinggi’ apalagi bila diukur dengan fungsi hakim agung. Misalnya dalam kasus korupsi, begitu dibawa ke MA, pidananya bisa berkurang bahkan bebas. Tidak ada putusan maksimal terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sekalipun ada bisa dihitung jari. Hakim yang cenderung positivistik (hanya corong UU) sehingga penegakan hukum responsif dan progresif hanya sekadar wacana.
Kendala lain proses seleksi CHA ini adalah kualitas CHA, terbatasnya alokasi anggaran, keterbatasan waktu pendaftaran, dan proses ‘politik’ pada fit and proper test di DPR.
“Untuk itu perlu mekanisme rekrutmen hakim yang diatur dalam undang-undang, baik pada calon hakim karier, calon hakim ad-hoc dan CHA. Karena itu RUU Jabatan Hakim perlu segera dipertimbangkan. Perlu sinergitas antara MA, KY, dan perguruan tinggi, khususnya fakultas hukum, dalam rekrutmen dan pengawasan/evaluasi calon hakim dan produk-produk lembaga peradilan,” ujar Abdul memberikan kesimpulan. (KY/Noer/Festy)