Bersama Dan Bersinergi Wujudkan Peradilan Yang Diimpikan
Oleh :
Nur Mila Hayya1, Selfianti2, Lisa Aprilia Gusreyna3, Imam Maulana4, Anggun Mulyani5
Penulis Adalah Kader Klinik Etik dan Advokasi 2021 Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 Negara Indonesia adalah negara hukum yang memliki ciri-ciri yaitu adanya jaminan perlindungan hak-hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan legalitas dalam arti hukum yaitu bahwa baik pemerintah/negara maupun warga negara dalam bertindak harus berdasar atas dan melalui hukum. Hakim sebagai jantung pengadilan yang putusannya dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, sampai dengan memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. wibawa hakim dan pengadilan.
Melihat dari pentingnya putusan hakim maka banyak pihak yang terkadang tidak terima dengan putusan dan/atau pernyataan yang dikeluarkan terhadap suatu perkara, akibatnya terjadilah Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH). Tak hanya itu, PMKH juga sering kali disebabkan perilaku masyarakat yang tidak beretika dan bermoral maupun lembaga penegak hukum itu sendiri yang melanggar kode etik profesinya. Hakim sebagai jantungnya pengadilan maka perlu adanya upaya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang dapat kita wujudkan secara bersama-sama agar tidak ternodainya wibawa hakim dan pengadilan.
Peran dan Etika Para Pihak yang Telibat dalam Peradilan
Hakim, berperan dalam penyelenggaraan perkara mulai dari menerima, memeriksa sampai dengan mengadili perkara yang masuk di Pengadilan. Kode etik dan pedoman perilaku hakim diatur dalam Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI Dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor : 047/Kma/Skb/Il/2009 02/Skb/P.Ky/Il/2009 Tentang Kode Etik Dan Pedoman Perilaku Hakim dijelaskan: berperilaku adil, jujur, arif dan bijaksana, mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional (Sinaga, 2020:17).
Jaksa, dituntut untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum, perlindungan kepentingan umum, penegakan hak asasi manusia, serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dalam peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : Per-014/A/Ja/11/2012 Tentang Kode Perilaku Jaksa dijelaskan: memiliki integritas, bertanggung jawab dan mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, serta mewujudkan birokrasi yang bersih, efektif, efisien, transparan dan akuntabel yang dilandasi doktrin Tri Krama Adhyaksa.
Advokat / Pengacara, berperan dalam memberikan jasa hukum berupa konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien.
Saksi, berperan dalam memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, dan ia alami sendiri. Saksi harus memberi keterangan yang sebenar-benarnya, sesuai dengan apa yang dialaminya, apa yang dilihatnya atau apa yang didengarnya sendiri.
Pengunjung Sidang, diwajibkan mematuhi segala tata tertib dalam menghadiri persidangan sebagaimana dimaksud dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan, salah satunya yaitu selama sidang berlangsung, pengunjung sidang harus duduk dengan sopan dan tertib di tempat masing-masing dan memelihara ketertiban dalam sidang..
Urgensi Dan Cara Mewujudkan Peradilan Yang Bebas PMKH
Peradilan yang diimpikan semua orang tentunya adalah peradilan yang tertib, bersih dan berwibawa yang terlepas dari perbuatan yang tidak beretika dan bermoral. Selain itu, peradilan yang berfungsi sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi masyarakat yang bersengketa sudah seharusnya dalam proses persidangan atau pengambilan keputusan terbebas dari perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim (PMKH). Hal ini agar hakim di peradilan dapat melaksanakan hak dan kewajibannya dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sesuai dengan pertimbangan hukumnya sehingga putusan yang dihasilkan bersifat lebih objektif dan berkeadilan serta tidak ternodainya citra peradilan di mata masyarakat.
Perbuatan merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim atau yang disingkat dengan PMKH adalah perbuatan orang perorangan, kelompok orang atau badan hukum yang mengganggu proses peradilan, atau hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara, mengancam keamanan hakim di dalam maupun di luar persidangan, menghina hakim dan pengadilan. PMKH dapat dilakukan baik oleh hakim itu sendiri, jaksa, pengacara, pihak penggugat dan tergugat maupun pengunjung dan masyarakat.
Dengan demikian maka tugas kitalah untuk bersama-sama menghapuskan PMKH dan menghantarkan impian pada peradilan yang berwibawa. Bagaimana cara untuk mewujudkannya? Tentu dalam hal ini harus melibatkan semua pihak seperti hakim, jaksa, pengacara dan masyarakat. Hal pertama yang dapat dilakukan adalah menumbuhkan kesadaran berperilaku berdasarkan etika yaitu mampu membedakan mana yang baik dan yang buruk dan moral yaitu mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Selain itu, hadirnya kode etik juga merupakah sebuah upaya dari pencegahan PMKH. Misalnya kepada hakim agar tidak melakukan tindakan atau perbuatan yang mengandung unsur SARA di dalam maupun diluar persidangan. Sebab yang demikian akan menjatuhkan martabat hakim disamping itu juga tentunya melanggar kode etik profesi hakim.
Advokat sebagai penegak hukum yang tugasnya mendampingi klien untuk mencari keadilan berdasarkan pengetahuan hukumnya yang sudah tidak diragukan lagi, sepatutnya dalam proses persidangan hingga akhir pembacaan putusan untuk dapat mendengarkan dahulu putusan hakim terhadap perkara dengan tertib dan tentram. Setelah itu apabila putusan hakim tersebut dirasa kurang adil maka advokat dapat mengajukan upaya banding maupun kasasi hingga peninjauan kembali terhadap kasus yang disengketakan. Sehingga tindakan-tindakan anarkis yang tidak diharapkan dapat dihindari. Karena sejatinya hukum di Indoensia telah mengatur upaya-upaya yang dapat dilaksanakan untuk mencari keadilan yang diinginkan.
Kemudian terhadap jaksa maupun advokat agar tidak melakukan tindakan berupa kesepakatan atau perjanjian dengan klien atau menerima imbalan dan hadiah dengan menjanjikan kemenangan kepada klien sebab yang demikian adalah pelanggaran kode etik profesi dan juga merupakan cikal bakal terjadinya PMKH di persidangan kelak. Ketika dipersidangan ternyata klien yang didampingi oleh advokat, kemudian advokat tersebut dinyatakan kalah oleh hakim, maka kemungkinan besar akan terjadi kerusuhan karena apa yang didapatkannya tak sesuai dengan yang dijanjikan sebelumnya. Bersamaan dengan itu, kepada masyarakat agar lebih bijak dalam bertindak serta tidak mudah teriming-imingi oleh janji yang belum tentu benar adanya, sebab penyelesaian kasus bukan hanya dilakukan oleh advokat/jaksa semata melainkan terdapat hakim yang akan memutus pihak mana yang akan dimenangkan berdasarkan pertimbangan hukumnya. Kalah menangnya suatu pihak dalam perkara atau sengketa tidak akan diketahui sampai keluarnya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Upaya lain yang dapat dilakukan masyarakat yaitu pada saat mengunjungi pengadilan untuk menyaksikan persidangan sebaiknya mematuhi aturan yang berlaku misalnya mensilent dan tidak menggunakan handphone untuk berkomunikasi, tidak makan, minum dan merokok di dalam ruang sidang serta menjaga intonasi suara agar tidak menganggu proses persidangan. Disamping itu, masyarakat juga dapat melaporkan apabila mendapati perbuatan atau tindakan yang dapat ataupun akan menimbulkan PMKH kepada lembaga Komisi Yudisial di daerahnya.
Tulisan ini sudah dipublikasikan di kanal Kompasiana