Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) ketiga yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Hakim ad hoc PHI pada PN Samarinda M. Mariyanto yang merupakan perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Jakarta (Komisi Yudisial) – Calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada Mahkamah Agung (MA) ketiga yang diwawancara pada Senin (18/11) adalah Hakim ad hoc PHI pada PN Samarinda M. Mariyanto yang merupakan perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Salah satu motivasi Mariyanto mengikuti rekrutmen calon hakim ad hoc Hubungan Industrial pada MA adalah pengembangan karier. Ia juga ingin memfokuskan pada keinginan pribadi agar ada perwakilan hakim yang memutus berdasarkan keadilan, kepastian hukum, dan pemanfaatan hukum. Mariyanto berharap putusannya dapat dijadikan yurisprudensi bagi hakim tingkat pertama.
“Saya dulu pernah menjatuhkan putusan kasus PHK. Dalam prosesnya, ada kesepakatan antar para pihak, tapi kesepakatan tersebut tidak didaftarkan ke pengadilan. Putusan MA malah berpedoman pada kesepakatan, padahal seharusnya kesepatan tersebut wajib didaftarkan terlebih dahulu. Pada kasus ini saya melihat Putusan MA belum sesuai dengan ketentuan hukum yang ada. Hal ini yang ingin saya hindari terjadi di MA,” beber Mariyanto.
Ketenagakerjaan di Indonesia masih memiliki tantangan untuk bisa maju ke depan. Paling sering dipermasalahkan adalah terkait upah. Sebetulnya ketentuan upah di hukum positif sudah terpenuhi apabila stakeholders dalam hal ini pengusaha menjalankannya. Sayangnya menurut hasil survei, walaupun UMK/UMP sudah diterapkan oleh pemerintah, belum dijalankan dengan patuh oleh pengusaha.
“Masalah lain terkait SDM. Dapat dipahami kultural Indonesia masih heterogen, jadi latar belakang pendidikannya, keterampilan dan kualitas SDM-nya berbeda-beda. Sedangkan ekonomi kita belum merata di seluruh wilayah, yang berpengaruh pula pada dunia kerja,” ujar Mariyanto.
Untuk itu Mariyanto berpendapat bahwa Tenaga Kerja Asing (TKA) diperlukan dengan beberapa alasan. Pertama, TKA ditempatkan di bagian yang di mana SDM asli Indonesia belum memenuhi kualifikasi pekerjaan tersebut. Kedua, TKA dapat memberikan contoh bagi SDM Indonesia, dengan mengambil pelajaran dalam hal disiplin, motivasi, dan etos kerja.
“Selama mendukung kinerja, terutama dalam hal teknologi, TKA masih diperlukan. Dampak positif dan negatif pasti ada. Tapi jika dilakukan perekrutan sesuai dengan UU yang berlaku dan dengan kebutuhan, akan memberikan dampak positif untuk Indonesia,” jelas Mariyanto. (KY/Noer/Festy)